Menu
in ,

Peluang Pertumbuhan Ekonomi Melalui Program Vaksinasi

Pajak.comJakarta – Ekonom LPEM FEB Universitas Indonesia Teuku Riefky memandang, pemerintah Indonesia berpeluang mendapat momentum pertumbuhan ekonomi melalui percepatan dan perluasan program vaksinasi, bersamaan dengan respons kebijakan yang akomodatif lewat stimulus fiskal dan moneter. Dari sisi pelaksanaan vaksinasi misalnya, Riefky mengatakan bahwa tingkat vaksinasi di Indonesia meningkat tajam, berkat pemerintah yang mengamankan pasokan vaksin untuk seluruh penduduk.

“Tingkat vaksinasi harian telah meningkat menjadi lebih dari 1,6 juta per hari. Pada 14 Oktober, sekitar 104,3 juta orang telah menerima vaksinasi dosis pertama mereka, atau setara dengan sekitar 37,7 persen dari total populasi,” ungkapnya dalam keterangan resmi yang diterima Pajak.com, Senin (18/10).

Di samping itu, Riefky menilai Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) telah berhasil menekan kasus harian Covid-19 dari rekor tertinggi sebanyak 56.757 kasus harian pada pertengahan Juli menjadi 915 kasus harian (per 15 Oktober). Artinya, angka positivity rate menurun dari 33 persen di bulan Juli menjadi 0,5 persen atau berada jauh di bawah standar WHO sebesar 5 persen.

Dia bilang, tanda-tanda perbaikan dari indikator COVID-19 tersebut mendorong pemerintah untuk secara bertahap dan hati-hati melonggarkan pembatasan sosial, sebagai bentuk dukungan kepada pelaku usaha kecil yang menderita di bawah kebijakan tersebut, menyeimbangkan dengan kecepatan melalui program vaksinasi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.

“Pelonggaran pembatasan mobilitas masyarakat diperkirakan akan mendorong konsumsi dan investasi yang tertahan serta melanjutkan kemajuan pemulihan ekonomi,” ujarnya.

Terkait kebijakan fiskal, lanjutnya, pemerintah Indonesia telah menyalurkan dana pemulihan ekonomi nasional (PEN) sekitar 55,9 persen dari total Rp 745 triliun (Per 8 Oktober). Dari jumlah itu, realisasi terbesar terdapat pada anggaran untuk insentif usaha (95,5 persen dari target); sementara korporasi, UMKM, dan perorangan telah memanfaatkan berbagai insentif perpajakan yang diberikan pemerintah.

Riefky juga menyoroti penerbitan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Menurutnya, UU HPP merupakan bagian dari reformasi struktural yang berpotensi mendongkrak penerimaan dan memperluas basis pajak.

“Penguatan sistem perpajakan berpotensi meningkatkan penerimaan pajak dan memperluas basis pajak seiring dengan berlangsungnya pemulihan ekonomi, terutama dalam jangka panjang. Namun, reformasi harus dilakukan dengan hati-hati dan tepat waktu untuk menghindari kontraproduktif terhadap perekonomian,” jelasnya.

Selain itu, pemerintah juga menargetkan penurunan defisit fiskal secara bertahap hingga di bawah 3 persen dari PDB pada tahun 2023. Dalam APBN 2022, defisit fiskal ditargetkan sebesar Rp 868 triliun atau 4,85 persen dari PDB. Defisit ini lebih rendah dari 6,1 persen dari PDB pada tahun lalu dan prospek tahun ini sebesar 5,8 persen dari PDB, di mana menurut Riefky hal ini menandakan dimulainya konsolidasi fiskal.

“Secara keseluruhan, kami memandang bahwa Pemerintah Indonesia secara umum berada di jalur yang tepat untuk menurunkan defisit fiskal kembali menjadi 3 persen dari PDB pada tahun 2023. Selain itu, harga komoditas yang lebih tinggi akan memberikan benefit bagi perekonomian, dan jika pandemi terus mereda, perekonomian dapat mencapai pemulihan penuh yang akan meningkatkan pendapatan,” pungkasnya.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version