Menu
in ,

Pelanggar Karantina Bisa Dipenjara dan Denda Rp 100 Juta

Pajak.com, Jakarta – Kepala Divisi Humas Polri Irjen (Pol) Dedi Prasetyo menegaskan, pihaknya tidak segan menindak pelaku pelanggaran dan penyimpangan kekarantinaan. Pelanggar bisa dikenakan pidana penjara dan denda hingga Rp 100 juta. Penegasan ini menyusul adanya instruksi Presiden Joko Widodo (Jokowi) karena peningkatan kasus COVID-19 varian Omicron dan terkuaknya kasus pelanggar karantina yang dilakukan Rachel Vennya, Salim Nauderer, dan Maulina Khairunnisa.

“Siapa saja yang terbukti melakukan pelanggaran kekarantinaan dari hulu hingga hilir akan dilakukan tindakan tegas. Kami berharap, semua pihak disiplin mematuhi protokol kesehatan,” jelas Dedi dalam keterangan tertulis yang diterima Pajak.com(5/2).

Ada berbagai macam regulasi jika ketentuan itu dilanggar, yaitu Pasal 14 Undang-Undang (UU) Nomor 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular dan Pasal 93 UU Nomor 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan.

“Itu hukuman penjara satu tahun dan denda Rp100 juta. Kalau ada penyuapan lebih tinggi lagi, bisa dikenakan pasal korupsi,” tambah Dedi.

Ia menyampaikan, Kapolri sudah memerintahkan Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dittipideksus) Bareskrim Polri untuk membentuk tim mengusut adanya dugaan pelanggaran dan penyimpangan dalam kekarantinaan.

“Saat ini penyidik masih melakukan penyelidikan, apakah ada tindak pidana dalam proses kekarantinaan. Namun, jika memang ditemukan alat bukti, penyidik tak segan menetapkan tersangka. Tim sedang bekerja, sudah melakukan komunikasi, koordinasi, verifikasi, dengan berbagai pihak mulai keimigrasian, kekarantinaan kesehatan kemudian Satgas (satuan tugas) COVID-19, pengelola bandara (bandar udara), petugas di bandara, sampai dengan ke hulunya adalah pihak PHRI (Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia) yang mengelola jasa hotel tempat WNA (warga negara asing) maupun WNI (warga negara Indonesia) yang karantina,” jelas Dedi.

Ia mengungkap, beberapa kasus pelanggaran kekarantinaan terjadi karena adanya blank area dari WNA maupun WNI saat keluar pesawat hingga menuju imigrasi.

Blank area ini yang diduga kemudian membuat potensi terjadinya pelanggaran dan penyimpangan kekarantinaan. Terjadi transaksional sehingga WNA dan WNI yang harusnya karantina di tempat yang sudah disiapkan tapi tidak dilakukan,” ungkap Dedi.

Demi meminimalisir hal itu, kini Polri menerapkan Aplikasi Monitoring Karantina Presisi. Aplikasi ini menjadi alat pengawasan digital bagi para pelaku perjalanan luar negeri (PPLN). Kendati demikian, Polri tetap memerlukan kerja sama dari stakeholders lainnya, seperti Satgas COVID-19, TNI, masyarakat, dan lainnya.

“Aplikasi Monitoring Karantina Presisi berfungsi mengawasi WNA dan WNI yang masuk ke Indonesia, dari mulai tiba hingga ke lokasi karantina. Beberapa lokasi pintu masuk ke Indonesia, baik bandara, pelabuhan, dan pos lintas batas negara (PLBN) sudah menerapkan aplikasi itu. Aplikasi ini efektif. Namun, perlu di-cover pengawasan manual,” ujar Dedi.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menginstruksikan Polri dan Badan Intelijen Negara (BIN) untuk menindak tegas pelanggar karantina. Pasalnya, kenaikan kasus Omicron hampir seluruhnya berasal dari imported case.

“Saya minta betul, utamanya yang berkaitan Omicron ini adalah karantina bagi yang datang dari luar negeri. Jangan ada lagi dispensasi-dispensasi apalagi yang bayar-bayar itu kejadian lagi,” tegas Jokowi dalam Konferensi Pers Ratas Evaluasi Mingguan PPKM, yang disiarkan virtual, (3/1).

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version