Pakar Beberkan Manfaat dan Tantangan Indonesia Bergabung dengan BRICS
Pajak.com, Jakarta – Indonesia secara resmi menjadi anggota ke-10 kelompok ekonomi BRICS pada 6 Januari 2025. BRICS, yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan, merupakan salah satu blok ekonomi yang memiliki pengaruh besar dalam perekonomian global. Sejumlah pakar mengungkapkan, bergabungnya Indonesia dengan BRICS diperkirakan akan mendatangkan banyak manfaat bagi perekonomian, perdagangan, serta stabilitas mata uang negara. Namun, keanggotaan ini juga menimbulkan tantangan yang perlu diantisipasi.
Duta Besar Indonesia untuk Rusia Jose Antonio Morato Tavares mengungkapkan, berbagai peluang yang dapat dimanfaatkan Indonesia melalui keanggotaan BRICS, terutama dalam memperkuat pasar dan perdagangan.
“Saat ini, 62 persen dari total produksi kelapa sawit Indonesia diimpor oleh negara-negara anggota BRICS. Dengan populasi BRICS yang mencapai 45 persen populasi dunia—sekitar 900 juta orang—keanggotaan ini memberikan akses pasar yang besar dan memperlancar perdagangan di antara anggotanya,” ujar Jose dalam diskusi publik “BRICS: Menakar Langkah Indonesia”, di Jakarta, dikutip Pajak.com pada Rabu (22/01).
Jose juga menekankan kekuatan ekonomi yang dimiliki BRICS, dengan menyumbang 35 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) dunia berdasarkan daya beli masyarakat, lebih tinggi dibandingkan kelompok G7 yang hanya menyumbang 30 persen. Meskipun demikian, ia mengingatkan bahwa tantangan besar tetap ada.
“Kita harus waspada terhadap perlambatan ekonomi global yang sedang terjadi saat ini,” imbuhnya.
Di sektor geopolitik, Indonesia memiliki potensi untuk berperan sebagai jembatan penghubung antara BRICS dan negara-negara Barat yang tergabung dalam Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD).
“Dengan posisi politik luar negeri kita yang bebas aktif, Indonesia menekankan bahwa manfaat dari BRICS bersifat ekonomi, tanpa mengubah posisi politiknya,” kata Jose.
Sebagaimana diketahui, Indonesia telah melamar menjadi anggota OECD pada 2024, tetapi status keanggotaannya belum disetujui hingga saat ini. Asisten Deputi Stabilisasi Harga Kementerian Koordinator Bidang Pangan Siradj Parwito menilai, potensi besar bagi Indonesia dengan adanya New Development Bank (NDB) yang didirikan oleh BRICS. Pasalnya, bank tersebut dapat menjadi sumber pendanaan alternatif untuk proyek-proyek pembangunan di Indonesia yang sulit menarik minat investor swasta, terutama proyek berisiko tinggi seperti energi geotermal.
“Dana NDB dapat digunakan untuk mendanai proyek-proyek berisiko tinggi. Kata kuncinya adalah bankable. Dengan pendanaan ini, proyek-proyek kita yang berisiko tinggi bisa direstrukturisasi agar lebih menarik bagi investor,” ucap Siradj.
Meski begitu, kritik muncul terkait proses pengambilan keputusan Pemerintah Indonesia untuk bergabung dengan BRICS. Menurut Pakar Politik Luar Negeri dari Universitas PadjadjaranIrman Gurmilang Lanti, kebijakan ini diputuskan tanpa adanya diskusi publik yang memadai.
“Keputusan untuk melamar keanggotaan BRICS dibuat sebelum analisis mendalam dilakukan. Ini seperti ‘kereta menarik kuda’, keputusan diumumkan sebelum perdebatan yang cukup,” kata Irman.
Irman juga menggarisbawahi bahwa Indonesia sebelumnya melamar keanggotaan OECD di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi, tetapi belum ada kejelasan status. Tiba-tiba, di era Presiden Prabowo, Indonesia bergabung dengan BRICS.
“Jika dihadapkan pada pilihan antara BRICS dan OECD, Indonesia sebenarnya lebih cocok bergabung dengan OECD karena status ini dapat meningkatkan reputasi ekonomi Indonesia di mata dunia,” ungkapnya.
Selain itu, Irman mempertanyakan kemampuan Indonesia menghadapi kebijakan perdagangan Amerika Serikat (AS), terutama jika AS memberlakukan tarif perdagangan baru terhadap negara-negara BRICS di masa mendatang.
“Keanggotaan OECD akan menaikkan peringkat kredit kita dan memberikan kepercayaan lebih besar kepada investor bahwa uang mereka aman di Indonesia,” imbuhnya.
Dus, Irman juga mengungkapkan kekhawatirannya terhadap kondisi ekonomi global yang semakin sulit. Ia merujuk pada pelantikan Presiden AS Donald Trump pada 20 Januari 2025, yang kemungkinan besar akan membawa kebijakan tarif perdagangan yang berdampak pada negara-negara BRICS.
“Trump bakal memukul Tiongkok dengan tarif. Rusia juga dipukul dengan tarif. Nah, kita yang diasosiasikan dengan kelompok negara BRICS, apakah juga dipukul dengan tarif? Jika iya, apakah ekonomi kita cukup kuat menghadapinya?” kata Irman.
Irman menilai bahwa Indonesia, meskipun memiliki hubungan perdagangan yang baik dengan negara-negara BRICS seperti Tiongkok dan India, harus mempertimbangkan kembali manfaat keanggotaan BRICS. “Indonesia sudah bagus perdagangannya dengan Tiongkok, Rusia, Brasil, India. Lalu, apa yang bisa kita lakukan di BRICS yang tidak bisa dilakukan di level bilateral?” tegasnya.
Di sisi lain, Dosen Hubungan Internasional Unpad Teuku Rezasyah menilai, meskipun Indonesia telah memutuskan untuk bergabung dengan BRICS, penting bagi pemerintah untuk melakukan sosialisasi yang baik terkait manfaat keanggotaan ini. “Untuk menjadi isu nasional, level tought-nya harus sama di pemerintah, lembaga negara, kementerian. Rumuskan dalam konstelasi strategis yang tepat,” tutur Reza.
Ia pun menekankan bahwa Indonesia bisa memanfaatkan posisi di BRICS untuk memperjuangkan kerja sama Selatan-Selatan atau Global South, serta berperan dalam reformasi PBB, terutama dalam isu-isu yang sering kali didominasi oleh negara-negara Barat. “Indonesia bisa ikut menentukan reformasi PBB, khususnya dalam keputusan-keputusan yang sering mendapat veto dari negara-negara Barat,” kata Reza.
Namun, Reza mengingatkan bahwa Indonesia tidak boleh terlena. “Indonesia harus belajar cepat dari apa yang sudah dilakukan oleh Tiongkok, Rusia, Brasil, dan India. Ini termasuk pertarungan budaya,” tegasnya.
Comments