Menu
in ,

Menkeu: Sistem Merit Wujudkan Kesetaraan Gender

Pajak.com, Jakarta – Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pentingnya membangun sistem merit (merit system) untuk memberikan kesempatan yang adil bagi perempuan maupun laki-laki, khususnya dalam berkarier di dunia kerja. Dengan sistem merit, kesetaraan gender akan dapat terwujud.

Sekilas informasi, sistem merit merupakan salah satu sistem manajemen sumber daya manusia (SDM). Sistem ini berkaitan dengan proses seleksi dan promosi pekerja berdasarkan kompetensi dan kinerja. Oleh karena itu, proses seleksi tidak mempertimbangkan, koneksi, hubungan politik, atau gender.

Sri Mulyani mengutip hasil riset McKinsey Global Institute (MGI) yang menunjukkan, apabila tingkat kesetaraan gender seluruh negara telah mencapai skenario “terbaik di kawasan”, maka capaian itu akan berbuah tambahan sekitar Rp 172,8 triliun  ke produk domestik bruto (PDB) pada tahun 2025. Sementara dengan skenario “potensi penuh”, yakni tingkat partisipasi perempuan di dalam ekonomi setara dengan laki-laki, maka tambahan keuntungan sebesar sekitar Rp 399 kuadriliun pada tahun 2025 atau 26 persen terhadap PDB.

“Maka dari itu, merit system dibangun untuk  memberikan kesempatan yang adil buat laki dan perempuan. Di kemenkeu (kementerian keuangan) juga sama kita juga memberikan dan meng-establish merit system,” ujarnya dalam webinar bertajuk Women in Leadership, (7/3).

Namun, tidak bisa dipungkiri terdapat perbedaan yang dihadapi oleh perempuan dibanding laki-laki. Meskipun menerapkan merit systemtetap saja beban Perempuan lebih besar. Sebab perempuan memiliki kodrat bisa hamil, melahirkan, menyusui, bahkan mempunyai tanggung jawab untuk mengurus anak.

“Dia (perempuan) sering dihadapkan pada dilema mau sekolah atau mau kawin, mau karir atau mau punya anak. Mau di rumah urusin rumah atau karena dianggap ngurusin rumah itu adalah perempuan atau meneruskan bekerja. Pertanyaan-pertanyaan seperti itu tidak dihadapkan kepada jenis kelamin laki-laki. Jelas beban perempuan lebih berat. Dengan begitu, perempuan dalam sistem leadership, yaitu meskipun merit system dia pasti harus overcoming atau mengatasi berbagai masalah. Bagaimana menyeimbangkan memelihara putra putri dan terus menjaga kariernya, artinya waktu tidurnya lebih sedikit,” ungkap Sri Mulyani.

Dengan demikian, Direktur Pelaksana Bank Dunia periode 2010—2016 ini menilai, bukan berarti perempuan harus berhenti mengejar kariernya. Perempuan justru bisa lebih fokus mengejar mimpinya.

“Biasanya perempuan dianggap tidak pantas untuk suatu posisi dan harus membuktikan posisinya. Dia harus bekerja lebih keras, kadang-kadang dua kali lebih baik dari laki-laki untuk bisa menjustifikasi posisi yang dipegangnya. Saya mengambil jurusan ekonomi yang ternyata kalau orang memikirkan ekonomi, akuntansi, atau manajemen itu banyak perempuan, ternyata enggak juga itu. Apalagi saya mengambil jurusan yang namanya studi pembangunan (Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia) itu mayoritas sampai 90 persen laki-laki,” kenang Sri Mulyani.

Ia juga berkisah, setelah memperoleh gelar PhD di luar negeri,  harus dihadapkan dengan krisis moneter tahun 1997—1998 di Indonesia. Kala itu, Sri Mulyani menjadi ekonom muda yang ikut andil menangani krisis, mempertahankan idealismenya.

“Di situ menjadi salah satu tempat pertempuran bagi kita semuanya untuk bagaimana meningkatkan atau mengendalikan suatu krisis dan sebagai ekonom muda baru, kemudian saya banyak mendapatkan kesempatan untuk melakukan aktivitas-aktivitas yang berhubungan dengan penanganan krisis, termasuk waktu itu di Universitas Indonesia,” ungkap Sri Mulyani.

Artinya, perempuan bisa mengambil berbagai kesempatan yang ada untuk berkarya, meskipun di tengah kondisi serba sulit.

“Perempuan kadang-kadang kalau kita lihat ada suatu kesempatan yang terjadi one life, seperti krisis 1998, sama seperti sekarang pandemi itu adalah bisa menjadi opportunity yang luar biasa besar. Bagi siapa pun untuk bisa berkarya,” kata Sri Mulyani.

Dalam kesempatan yang sama, Pendiri The Wahid Institute Yenny Wahid menilai, negara yang dipimpin perempuan cenderung tidak akan mudah mengalami konflik dan kepemimpinannya memiliki empati yang lebih besar kepada masyarakat.

“Saya tidak mengatakan pemimpin laki-laki tidak mempunyai kemampuan itu, tetapi kita melihat dari performa para pemimpin perempuan di banyak negara.  Misalnya, saat mengatasi pandemi, banyak sekali pemimpin perempuan membuat terobosan yang lebih empati untuk masyarakatnya,” kata Yenny.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version