Menu
in ,

Kolaborasi Akselerasi Pasar Karbon Indonesia

Kolaborasi Akselerasi Pasar Karbon Indonesia

FOTO: IST

Pajak.com, Jakarta – Presiden Joko Widodo telah mengesahkan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Nilai Ekonomi Karbon (NEK). Langkah ini menandakan keseriusan Indonesia dalam penanganan perubahan iklim. Namun demikian, perlu ada kolaborasi antara pemerintah dan swasta untuk mengakselerasi pasar karbon Indonesia.

Co-Founder & Executive Director Indonesia Research Institute for Decarbonization (IRID) Kuki Soejachmoen mengatakan, Indonesia memiliki banyak sekali peluang untuk meningkatkan pasar karbon. Ia mengatakan, sebelumnya di bawah Protokol Kyoto sudah ada mekanisme perdagangan karbon. Namun, dulu posisi Indonesia hanya berperan sebagai penjual. Selanjutnya, di bawah Persetujuan Paris semua negara memiliki peluang untuk menjadi penjual dan pembeli.

“Ini adalah suatu hal yang Indonesia perlu explore,” kata Kuki dalam keterangan tertulis Kamis, (2/12/21).

Sebagai salah satu negara dengan hutan terbesar di dunia, Indonesia disebut sebagai negara climate superpower sehingga kebijakan yang diambil Indonesia dalam upaya memerangi perubahan iklim akan berdampak besar di seluruh dunia. Potensi besar untuk membangun pasar karbon domestik dan global akan memberikan Indonesia manfaat secara ekonomi maupun lingkungan hidup.

Sementara itu, Tenaga Ahli Kementerian Perdagangan Barry Beagen menjelaskan, soal potensi menurutnya ada dua hal yang perlu dilihat, yakni dari sisi perdagangan dan dari sisi co-benefit. Selain itu, perlu juga dilihat secara makro jangka panjang, yakni bagaimana Indonesia memanfaatkan pasar karbon untuk memacu investasi di transisi energi.

“Secara garis beras, jika potensi alam Indonesia dikembangkan dan dikelola dengan baik, kita dapat menyumbang likuiditas karbon kredit terbesar di dunia dari sektor Forest and Other Land Uses (FOLU). Beberapa studi menyebutkan, jika Indonesia memanfaatkan ini semua, Indonesia dapat mencapai 10-15 miliar returns of investment per tahun,” jelas Barry.

CEO Indonesia Commodity & Derivatives Exchange (ICDX) Lamon Rutten menambahkan, kondisinya akan lebih baik jika ada pasar karbon di Indonesia sehingga perusahaan Indonesia dapat membeli kredit karbon dari produsen Indonesia dengan nilai dan brand Indonesia. Selain itu, perusahaan Indonesia juga perlu memahami bahwa akan ada risiko bagi mereka yang tidak memiliki strategi net zero carbon.

“ICDX sudah siap untuk memfasilitasi itu semua karena kami sudah memiliki infrastruktur dan ekosistem yang mumpuni untuk akselerasi pasar karbon Indonesia,” ujar Lamon.

Adapun pemerintah, melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah melakukan uji coba perdagangan karbon di subsektor ketenagalistrikan untuk memangkas emisi gas rumah kaca yang dilepaskan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).

Berdasarkan informasi yang disampaikan Direktur Jenderal Ketenagalistrikan, Kementerian ESDM Rida Mulyana, sektor energi memiliki target untuk menurunkan 314 juta ton C02 pada tahun 2030 dengan usaha sendiri. Penerapan batas atas atau cap, khususnya di PLTU batu bara yang sudah dilaksanakan uji cobanya pada Maret hingga Agustus lalu dapat meningkatkan pengurangan emisi.

Dalam uji coba tersebut, Kementerian ESDM membagi batasan atas atau cap ke dalam tiga grup dengan mempertimbangkan teknologi, di mana PLTU dengan kapasitas di atas 400 MW dengan cap 0,918 ton CO2/MWH, PLTU dengan kapasitas 100-400 MW dengan cap 1,013 ton CO2/MWH, dan PLTU Mulut Tambang dengan kapasitas 100-400 MW dengan cap 1,94 ton CO2/MWH.

Saat ini, dunia internasional sedang menunggu langkah Indonesia terkait transformasi dan upaya jangka pendek serta panjang dalam menghadapi perubahan iklim. Implementasi perdagangan karbon dapat menjadi salah satu instrumen Indonesia untuk merealisasikan komitmennya menuju netral karbon atau net zero emission pada 2060.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version