Menu
in ,

“Fintech” Punya Peranan Penting untuk Inklusi Keuangan

Pajak.com, Jakarta – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyampaikan, kehadiran financial technology (fintech) peer-to-peer (P2P) lending memiliki peranan penting bagi industri keuangan, di antaranya untuk meningkatkan inklusi keuangan nasional.

Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non-Bank OJK Riswinandi mengatakan, fintech P2P lending ini memiliki banyak sekali manfaat untuk membantu memberikan akses pendanaan kepada masyarakat yang tidak bisa mengakses pinjaman melalu perbankan atau unbankable.

“Peranan fintech lending semakin penting di tengah pandemi Covid-19, seiring dibutuhkannya akses pendanaan masyarakat terutama pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM),” kata Riswinandi dalam diskusi virtual, Rabu (30/6/2021).

Riswinandi memaparkan, kepercayaan masyarakat untuk menggunakan P2P lending memperlihatkan tren positif. Hal ini tecermin dari total outstanding penyaluran pembiayaan hingga Mei 2021 sebesar Rp 21,75 triliun atau meningkat 69,06 persen secara year on year (yoy). Selain itu, akumulasi penyaluran juga telah mencapai Rp 207,07 triliun dengan kualitas yang terjaga, yaitu tingkat keberhasilan 90 hari berada pada angka sebesar 98,46 persen.

Meski demikian, Riswinandi mengingatkan, dengan segala kemudahan meminjam dana secara on-line, masyarakat harus tetap waspada terhadap keberadaan fintech ilegal yang sampai saat ini masih menjamur. Hingga bulan Juni ini, OJK mencatat, jumlah penyelenggara fintech P2P lending yang terdaftar dan berizin di OJK hanya ada 125 perusahaan.

“Masyarakat tentunya harus berhati-hati jika tidak ingin terjebak pada pinjaman dari fintech ilegal yang ujungnya akan merugikan masyarakat sendiri,” imbau Riswinandi.

Sejalan dengan OJK, studi Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) pada 2019 tentang fintech menggambarkan bahwa inovasi ini mengarah pada inklusi keuangan yang lebih besar bagi populasi yang tidak bankable. P2P lending memberikan kesempatan kepada masyarakat Indonesia yang tidak memiliki rekening bank untuk mengakses pinjaman dengan persyaratan yang lebih sederhana daripada kredit mikro dari bank tradisional dan tanpa harus pergi ke bank. Hal ini terutama menguntungkan kelompok berpenghasilan rendah, mereka yang berada di daerah pedesaan serta usaha mikro dan kecil.

Namun, pada saat yang sama, masyarakat dengan tingkat pendidikan yang rendah dan kurang pengalaman dengan layanan keuangan serta akses pengaduan yudisial atau ekstra-yudisial lebih berisiko terhadap penipuan atau praktik peminjaman predator. Untuk itu, CIPS menekankan adanya upaya untuk memperkuat sinergi antara regulasi pemerintah dan perlindungan konsumen P2P lending. Perlindungan konsumen diperlukan untuk memberikan rasa aman dan menjaga kepercayaan mereka dalam bertransaksi dengan lembaga ini. Rasa aman dan kepercayaan tersebut akan menumbuhkan industri keuangan dan dapat menggerakkan sektor-sektor yang terdampak pandemi lewat skema pinjaman yang diajukan para konsumen.

Selama ini perkembangan fintech P2P lending diwarnai banyak kontroversi. Layanan jasa keuangan berbasis teknologi ini sempat menjadi sorotan seiring dengan banyaknya laporan dari debitur yang terjerat utang pinjaman on-line alias pinjol. Misalnya adanya praktik pemberian pinjaman yang menawarkan pinjaman tunai tanpa jaminan atau payday loan, serta praktik peminjaman predator. Praktik peminjaman predator mencakup suku bunga yang berlebihan, praktik penagihan utang yang agresif, dan penyalahgunaan data pribadi konsumen. Beberapa kasus pinjaman predator telah banyak dipublikasikan dan bahkan menyebabkan keresahan sosial.

Menurut data Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), selama satu tahun terakhir pengaduan yang paling banyak dilaporkan ke YLKI ialah jasa finansial, khususnya masalah pinjol. Tahun 2020 pengaduan sebanyak 3.692 total pengaduan diterima YLKI. Dari seluruh komoditas, 15 persen di antaranya ialah masalah pinjol ilegal dan masalah fintech P2P lending.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version