Menu
in ,

Wacana Kenaikan PPN Sembako Menuai Kritik

Wacana Kenaikan PPN Sembako Menuai Kritik

FOTO : IST

Pajak.com, Jakarta – Pemerintah berencana mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap barang kebutuhan pokok, seperti beras, jagung hingga daging. Rencana itu tertuang dalam Draf Revisi Kelima Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP). Padahal dalam aturan sebelumnya, barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak atau sembako termasuk objek yang tak dikenakan PPN. Di dalam aturan tersebut, sembako tak lagi termasuk dalam obyek yang PPN-nya dikecualikan.

Rencana pemerintah itu pun kembali menuai polemik. Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudistira menilai, pemberlakuan PPN sembako berisiko akan menurunkan daya beli masyarakat sehingga pertumbuhan ekonomi bisa kembali menurun serta meningkatkan angka kemiskinan.

“Perluasan objek PPN ke bahan pangan akan berisiko terjadinya kenaikan harga pada barang kebutuhan pokok mendorong inflasi, dan menurunkan daya beli masyarakat. Imbasnya bukan saja pertumbuhan ekonomi bisa kembali menurun tapi juga naiknya angka kemiskinan, “ kata Bhima saat dihubungi, Kamis (10/6/2021).

Sementara itu, Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi mengatakan, jika benar diterapkan, kebijakan ini dianggap tidak manusiawi, apalagi di tengah pandemi seperti sekarang, saat daya beli masyarakat sedang turun drastis.

Tulus menilai, pengenaan PPN akan menjadi beban baru bagi masyarakat dan konsumen, yakni kenaikan harga kebutuhan pokok. Selain itu, jika ada distorsi pasar, kenaikannya akan semakin tinggi.

Pengenaan PPN pada bahan pangan juga bisa menjadi ancaman terhadap keamanan pasokan pangan pada masyarakat. Oleh karena itu, wacana ini harus dibatalkan. Pemerintah seharusnya lebih kreatif, jika alasannya untuk menggali pendapatan dana APBN,”  kata Tulus dalam keterangan tertulis.

Namun demikian, kekhawatiran itu dibantah pemerintah. Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo menegaskan, pemerintah tidak akan membabi buta dalam memungut pajak. Meski di sisi lain, pemerintah pun butuh uang akibat pandemi yang turut memberikan dampak pada pendapatan negara.

“Kembali ke awal, nggak ada yang tak butuh uang, apalagi akibat hantaman pandemi. Tapi dipastikan pemerintah tak akan membabi buta. Konyol kalau pemulihan ekonomi yang diperjuangkan mati-matian justru dibunuh sendiri. Mustahil!” tulis Prastowo melalui akun Twitter pribadinya.

Prastowo mengatakan, meski revisi RUU KUP mulai dirancang tahun ini, bukan berarti pemungutan pajak sembako akan dilakukan di tahun yang sama. Di masa pandemi, pajak diarahkan sebagai stimulus. Artinya, penerimaan negara tertekan, di sisi lain belanja negara meningkat tajam. Untuk itu, secara bersamaan pemerintah pun mendesain kebijakan yang bisa menjamin keberlanjutan di masa yang datang. Penerapan pungutan atas PPN Sembako untuk beberapa barang dan jasa yang sebelumnya dikecualikan pun menunggu ekonomi pulih secara bertahap.

“Ini saat yang tepat merancang dan memikirkan. Bahwa penerapannya menunggu ekonomi pulih dan bertahap, itu cukup pasti. Pemerintah dan DPR memegang ini. Saat ini pun barang hasil pertanian dikenai PPN 1 persen. Beberapa barang/jasa juga demikian skemanya agar ringan,” kata Prastowo.

Prastowo juga mengimbau agar masyarakat terus mengawal dan memberikan masukkan kebijakan yang sedang disusun pemerintah. Apalagi saat ini kebijakan tersebut masih terus dikaji dan disempurnakan.

“Ini masih terus dikaji, dipertajam, dan disempurnakan. Pada waktunya akan dibahas dengan DPR. Jika disetujui, pelaksanaannya memperhatikan momen pemulihan ekonomi. Kita bersiap untuk masa depan yang lebih baik,” kata Prastowo.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version