Trump Umumkan Kenaikan Pajak Impor, Ekonomi Dunia Terancam Perang Dagang
Pajak.com, Washington D.C. – Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengumumkan rencana untuk menaikkan pajak impor untuk menyesuaikan dengan tarif pajak yang dikenakan oleh negara lain. Trump berkeyakinan kebijakan ini dapat mengurangi ketidakseimbangan perdagangan, meskipun berisiko memicu konfrontasi ekonomi yang lebih luas dengan sekutu dan rival AS.
“Saya memutuskan demi keadilan bahwa saya akan memberlakukan tarif resiprokal. Ini adil bagi semua. Tidak ada negara lain yang bisa mengeluh,” kata Trump saat menandatangani proklamasi tarif tersebut di ruang kerjanya di Gedung Putih, Washington D.C., AS, dikutip Pajak.com, Sabtu (15/2).
Trump juga menyoroti Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang diterapkan di negara-negara Uni Eropa sebagai penghalang perdagangan yang akan menjadi bagian dari perhitungan tarif resiprokal. Faktor-faktor lain yang akan dipertimbangkan dalam menetapkan tarif ini termasuk subsidi industri, regulasi, dan kemungkinan manipulasi nilai mata uang oleh negara-negara lain.
Dikutip dari laporan Associated Press, seorang pejabat senior Gedung Putih mengungkapkan bahwa pendapatan dari pajak ini diharapkan dapat membantu menyeimbangkan defisit anggaran AS yang diperkirakan mencapai 1,9 triliun dolar AS (sekitar Rp29.000 triliun). Pejabat ini mengatakan bahwa kajian pajak impor ini bisa selesai dalam hitungan minggu hingga beberapa bulan. Pemerintah AS pun berencana mempelajari tarif tersebut dalam beberapa minggu mendatang, memberikan ruang untuk negosiasi atau malah memperpanjang ketidakpastian.
Yang jelas, tarif pajak impor baru ini diperkirakan akan lebih besar dibandingkan dengan tarif yang diterapkan Trump pada masa jabatan pertamanya. Menurut Biro Sensus AS, nilai perdagangan barang antara Eropa dan AS mencapai hampir 1,3 triliun dolar AS (sekitar Rp19.800 triliun) pada tahun lalu, dengan AS mengimpor 267 miliar dolar AS (sekitar Rp4.000 triliun) lebih banyak daripada yang diekspor.
Selama beberapa minggu terakhir, Trump secara terbuka mengancam beberapa mitra dagang AS dengan ancaman tarif, mendorong mitra-mitra tersebut untuk membalas dengan menaikkan pajak impor. Langkah ini berisiko memicu eskalasi ketegangan yang dapat membawa ekonomi global ke dalam perang dagang yang lebih serius.
Trump telah memberlakukan tarif tambahan sebesar 10 persen pada barang impor dari Tiongkok, terkait peran negara tersebut dalam produksi opioid fentanyl. Ia juga sedang menyiapkan tarif untuk Kanada dan Meksiko, yang dijadwalkan mulai berlaku pada Maret, setelah ditunda selama 30 hari. Selain itu, ia mencabut pengecualian dari tarif baja dan aluminium yang diberlakukan pada 2018.
Namun, Trump menjelaskan bahwa tarif tambahan yang diberlakukan untuk alasan keamanan nasional dan lainnya akan dikenakan di luar tarif resiprokal. Artinya, tarif tersebut tidak akan menciptakan kondisi persaingan yang benar-benar setara. Tarif baja dan aluminium sebesar 25 persen, misalnya, akan tetap diberlakukan di luar tarif resiprokal yang direncanakan. Produk lain, seperti cip komputer dan obat-obatan, juga akan dikenakan tarif yang lebih tinggi dari tarif resiprokal.
Para kritikus memperingatkan, tarif pajak impor yang lebih tinggi dapat berdampak negatif pada ekonomi AS jika kebijakan ini justru memicu inflasi dan memperlambat pertumbuhan ekonomi. Betapa tidak, taruhan besar ini dilakukan oleh Trump di tengah ambisinya untuk menunjukkan otoritasnya atas perekonomian AS.
Di sisi lain, kebijakan baru ini berpotensi membebani konsumen dan bisnis di AS. Pajak impor yang direncanakan oleh Trump ini digadang-gadang untuk menyamakan peluang bersaing antara produsen AS dan luar negeri. Namun, para pengamat menilai bahwa pada praktiknya, pajak ini akan ditanggung oleh konsumen dalam bentuk harga yang lebih tinggi.
Pakar Perdagangan Cato Institute Scott Lincicome menilai bahwa meskipun AS memang memiliki tarif rata-rata yang rendah, proklamasi Trump tampaknya lebih ditujukan untuk menaikkan pajak impor ketimbang mengejar keadilan. Lincicome menambahkan, kebijakan tarif ini mencerminkan kesalahpahaman fundamental tentang cara kerja ekonomi global.
“Ini pada akhirnya akan berarti tarif yang lebih tinggi, dan pada akhirnya akan menjadi pajak yang lebih tinggi bagi konsumen dan produsen AS,” jelasnya.
Meskipun Gedung Putih berargumen bahwa kebijakan tarif ini bertujuan untuk meningkatkan keadilan perdagangan dan pendapatan negara, beberapa analis juga memperingatkan bahwa kebijakan ini bisa berdampak buruk pada investasi dan lapangan kerja, terutama jika inflasi terus meningkat. Laporan dari Wells Fargo menyebutkan bahwa tarif ini kemungkinan akan memperlambat pertumbuhan ekonomi AS tahun ini, meskipun pemotongan pajak yang diperluas dapat membantu pemulihan ekonomi pada 2026.
Tarif baru tersebut juga akan disesuaikan untuk setiap negara, dengan tujuan memulai negosiasi perdagangan baru. Namun, negara-negara lain mungkin merespons dengan menaikkan tarif mereka atas barang-barang AS, yang berpotensi memicu perang dagang.
Beberapa negara, seperti Uni Eropa, Kanada, dan Meksiko, telah menyiapkan tindakan balasan yang siap menghantam ekonomi AS sebagai respons atas kebijakan Trump. Sementara itu, Tiongkok sudah mengambil langkah-langkah balasan dengan menerapkan tarif atas energi, mesin pertanian, dan mobil bermesin besar dari AS, serta melakukan penyelidikan antimonopoli terhadap Google.
Comments