TaxPrime Analisis Dampak Rencana Kenaikan Tarif PPN 12 Persen bagi Pengusaha
Pajak.com, Jakarta – Undang – Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) telah menetapkan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen paling lambat mulai 1 Januari 2025. Kepada Pajak.com, Tax Compliance and Audit Advisor TaxPrime Nuryadin memberikan analisis dampak rencana kenaikan tarif PPN tersebut bagi pengusaha.
Yadin menyebut bahwa kenaikan tarif PPN ditetapkan dalam Pasal 7 UU HPP, yang berbunyi “Tarif Pajak Pertambahan Nilai, yaitu sebesar 11 persen (sebelas persen) yang mulai berlaku pada tanggal 1 April 2022; sebesar 12 persen (dua belas persen) yang mulai berlaku paling lambat pada tanggal 1 Januari 2025.”
Namun, menurut Yadin UU Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah telah memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk menyesuaikan tarif PPN berdasarkan perkembangan ekonomi atau peningkatan kebutuhan dana untuk pembangunan.
“Kenaikan tarif PPN ini sudah ada diatur sejak lama, bahwa pemerintah boleh menaikkan sampai dengan tarif 15 persen. Itu ada di pasal 7 UU PPN. Cuma pemerintah tentu memiliki pertimbangan terkait dampak dari kenaikkan itu, dalam hal ini kenaikan dari 11 ke 12 persen,” ungkap Yadin beberapa waktu lalu di Kantor TaxPrime, Jakarta.
Oleh karena itu, ia yakin bahwa pemerintah telah mempertimbangkan berbagai dampak dari kebijakan kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen pada tahun 2025 di tengah kondisi ekonomi dan geopolitik saat ini. “Di Indonesia, pertumbuhan ekonomi (2025) diprediksi jauh lebih stabil—pada kisaran 5 persenan. Tapi perlu diingat juga, bukan berarti tanpa tantangan, tentunya pengusaha berharap rencana kenaikan tarif PPN ini tidak menghambat operasional perusahaan dan pertumbuhan ekonomi. Bagaimana misalnya sektor otomotif—pembelian bahan baku atas kenaikan PPN 1 persen lebih tinggi dari yang sebelumnya, bisa memanfaatkan insentif dari pemerintah,” ungkap Yadin yang telah berpengalaman sekitar 15 tahun mendampingi Wajib Pajak di sektor otomotif, pertambangan, telekomunikasi, dan penerbangan ini.
Sarjana hukum ini memetakan dampak kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen bagi pengusaha, diantaranya pertama, peningkatan pendapatan negara yang memperluas ruang fiskal pembiayaan pembangunan infrastruktur, layanan publik, dan program sosial. Secara simultan, peningkatan pendapatan negara koheren dengan pengurangan defisit anggaran, sehingga memberikan keleluasan bagi pemerintah dalam menginvestasikan program yang lebih produktif. Sebagai contoh, pemberian program pendidikan.
“Kita coba melihat dari pengalaman. Setelah kenaikan tarif PPN, penerimaan negara dari sektor pajak, utamanya dari jenis PPN, mengalami lonjakan yang signifikan.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pajak, penerimaan PPN pada tahun 2022 mencapai sekitar Rp 607 triliun atau lebih tinggi dibandingkan dengan target yang ditetapkan,” ungkap Yadin.
Yadin menambahkan, infrastruktur seperti jalan, pelabuhan, dan jaringan telekomunikasi akan mempermudah distribusi barang dan jasa, menurunkan biaya logistik, dan membuka akses pasar baru bagi pengusaha. Selain itu, layanan publik yang lebih baik, seperti listrik dan air bersih, turut mendukung kelancaran operasional bisnis, terutama untuk sektor manufaktur dan layanan.
Tak kalah penting, menurut Yadin, pendidikan yang berkualitas akan menghasilkan tenaga kerja yang lebih terampil dan inovatif. Hal ini menguntungkan pengusaha dalam mendapatkan sumber daya manusia yang mampu meningkatkan produktivitas dan daya saing perusahaan.
Selain itu, program sosial seperti pelatihan kerja dan beasiswa, membantu menciptakan tenaga kerja yang siap pakai, bahkan di daerah yang sebelumnya kurang terjangkau. Dengan meningkatkan kesejahteraan masyarakat juga meningkatkan daya beli mereka, sehingga dengan masyarakat yang lebih makmur, pengusaha dapat memanfaatkan potensi pasar lokal yang lebih besar.
“Infrastruktur yang memadai dan layanan publik yang efisien akan menarik lebih banyak investasi, baik dari pengusaha lokal maupun internasional. Ketika pengusaha merasa didukung oleh program pendidikan dan sosial, mereka cenderung lebih percaya untuk memperluas atau membuka usaha baru,” urai Yadin.
Kedua, diversifikasi sumber pendapatan negara. Menurutnya, hal ini penting untuk membantu pemerintah mengurangi ketergantungan pada jenis pajak lain seperti Pajak Penghasilan (PPh). Ketiga, stabilisasi ekonomi.
“Apabila pendapatan tambahan digunakan dengan bijak, itu bisa membantu menstabilkan ekonomi dalam jangka panjang, terutama dalam menghadapi ketidakpastian global,” kata Yadin.
Disisi lain, Yadin juga menyampaikan usulannya kepada pemerintah, bahwa kebijakan pendukung yang tepat dan transparansi dalam penggunaan dana akan sangat penting untuk menjaga stabilitas dan kepercayaan masyarakat ditengah rencana kenaikan tarif PPN.
“Kalau pun memang harus menaikkan tarif PPN, penting bagi pemerintah untuk melakukan sosialisasi yang baik mengenai alasan dan manfaat kenaikan PPN. Jika masyarakat memahami bahwa pendapatan tambahan akan digunakan untuk proyek yang bermanfaat, misalnya, membangun infrastruktur jalan, fasilitas sekolah atau kesehatan, Wajib Pajak akan lebih menerima perubahan tersebut.” pungkas Yadin.
Comments