TaxPrime Tawarkan 7 Strategi Optimalkan Potensi Penerimaan PPN
Pajak.com, Jakarta – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengungkapkan bahwa c-efficiency PPN di Indonesia masih berkisar di 63,58 persen. Artinya, DJP baru bisa menangkap penerimaan dari PPN sebesar 63,58 persen dari potensi yang seharusnya bisa dihimpun. Kepada Pajak.com, Tax Compliance and Audit Advisor TaxPrime Nuryadin tawarkan 7 strategi alternatif untuk mendongkrak c-efficiency PPN di Indonesia.
“Hal ini menunjukkan bahwa masih ada celah yang cukup besar dalam sistem perpajakan, terutama PPN, yang dapat dieksplorasi untuk meningkatkan penerimaan negara,” jelas Yadin beberapa waktu lalu di Kantor TaxPrime, Jakarta.
7 Strategi Alternatif Dongkrak “C-efficiency” PPN di Indonesia
Ia pun memberikan gagasan 7 strategi untuk mengoptimalkan penerimaan PPN. Pertama, perbaikan, peningkatan kepatuhan, dan jumlah pengusaha kena pajak (PKP). Menurut Yadin, pengusaha terutama di sektor informal dan usaha mikro kecil menengah (UMKM) perlu didorong untuk terdaftar PKP atau memungut PPN dengan benar.
“Di sini pemerintah harus bisa meningkatkan jumlah PKP yang terdaftar dan memastikan mereka mematuhi kewajiban perpajakan mereka, ini adalah langkah pertama yang sangat penting,” tegasnya.
Secara simultan, DJP dan pemangku kepentingan harus melakukan edukasi yang lebih intensif untuk PKP dan masyarakat mengenai tata cara menghitung serta melaporkan PPN sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Kedua, memastikan pemanfaatan teknologi dan digitalisasi bisa dilakukan di seluruh pelosok negeri. Yadin berharap Sistem inti Administrasi Perpajakan (SIAP) atau core tax mampu memperkuat akses PKP dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.
“Penggunaan sistem elektronik yang lebih luas, seperti e-Faktur dan e-Billing untuk melacak dan memverifikasi transaksi yang dikenakan PPN sangat penting untuk meminimalisasi potensi kebocoran pajak dan meningkatkan transparansi,” jelas Yadin.
Ia juga menyarankan pemerintah lebih masif memanfaatkan big data dan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) dalam membantu melakukan analisis dan pemantauan transaksi secara lebih akurat. Yadin optimistis dengan pemantauan lebih cermat berbasis teknogi tersebut, membuat pemerintah dapat mendeteksi potensi penyalahgunaan atau penghindaran pajak dan melakukan tindakan preventif.
Ketiga, peningkatan pengawasan dan penegakan hukum dengan memberikan
sanksi yang lebih tegas. Yadin menekankan, hal ini penting untuk memitigasi adanya penghindaran pajak.
“Pemerintah bisa memberikan denda atau sanksi yang lebih besar bagi pelanggar peraturan. Ini akan mendorong pengusaha dan masyarakat untuk lebih patuh terhadap kewajiban PPN mereka. Dalam hal ini penegakan hukum terhadap pelanggaran PPN, termasuk pemalsuan faktur pajak,” jelasnya
Seirama dengan itu, Yadin berharap pemerintah melakukan pemeriksaan pajak yang lebih terarah. Ia berpandangan, DJP perlu memperkuat kapasitas pemeriksaan kepada sektor-sektor yang memiliki potensi penghindaran pajak lebih tinggi, seperti sektor yang sering menggunakan transaksi tunai atau memiliki transaksi dengan nilai besar.
Keempat, meningkatkan penetrasi PPN pada sektor informal dengan digitalisasi ekonomi. Yadin mengingatkan bahwa sebagian besar ekonomi informal, seperti sektor perdagangan kecil, pasar tradisional, dan pekerja lepas, banyak yang tidak terdaftar sebagai PKP dan tidak memungut PPN.
“Untuk itu, strategi yang dapat diterapkan adalah meningkatkan digitalisasi transaksi dalam sektor informal, seperti dengan mendorong penggunaan pembayaran non-tunai. Misalnya, e-wallet atau QR code yang lebih mudah dilacak oleh sistem perpajakan,” ujarnya.
Secara parsial, ia mengusulkan, adanya insentif pajak yang terarah kepada UMKM untuk menjadi PKP. Menurut Yadin, pemberian insentif bagi pelaku usaha kecil agar mereka mau berpartisipasi dalam sistem pajak, termasuk dengan menjadi PKP tanpa dikenakan sanksi berat, bisa membantu memperluas basis pajak di sektor informal.
Kelima, meningkatkan basis pajak atau tax base dengan memasukkan jasa pada sektor-sektor yang selama ini belum terjangkau, seperti sektor digital—yang sebelumnya belum dikenakan PPN.
“Pemerintah bisa mengoptimalkan sektor jasa digital yang memiliki segmentasi yang berbeda—tidak melulu untuk kalangan kelas menengah ke bawah. Mengoptimalkan pengenaan PPN di sektor jasa-jasa untuk kelas menengah ke atas, dengan tetap menjaga keseimbangan terhadap kepentingan publik, bisa meningkatkan penerimaan PPN,” tambah Yadin.
Keenam, revitalisasi kebijakan tarif PPN. Yadin mengusulkan, pemerintah perlu melakukan evaluasi secara berkala terhadap barang dan jasa yang dikecualikan dari PPN atau dikenakan tarif rendah.
“Beberapa barang dan jasa yang saat ini dikecualikan atau diperlakukan dengan tarif rendah mungkin sudah tidak lagi relevan dengan kondisi ekonomi saat ini. Pengalihan kebijakan pengecualian atau penyesuaian tarif PPN secara selektif pada sektor tertentu dapat membuka ruang penerimaan lebih besar tanpa harus menaikkan tarif secara drastis,” ungkap Yadin.
Ketujuh, simplifikasi administrasi pajak. Simplifikasi tersebut diharapkan dapat terwujud dengan adanya core tax yang mulai beroperasi pada tahun 2025.
“Sistem pembayaran dan pengembalian PPN untuk sektor-sektor tertentu harus lebih cepat, sehingga dapat meningkatkan kepuasan Wajib Pajak dan meningkatkan kemudahan administrasi,” jelas Yadin.
Dengan demikian, banyak jalan yang bisa ditempuh bagi pemerintah untuk mengoptimalkan pungutan PPN. “Kekhawatiran akan suatu kebijakan itu pasti ada. Rencana kenaikan tarif PPN dari 11 persen ke 12 persen tentu saja membuat banyak pihak khawatir. Walaupun mungkin setelah berjalan, sepertinya tidak lagi menjadi isu yang yang mengkhawatirkan. Meski begitu, pemerintah masih mempunyai banyak cara untuk mengoptimalkan c-efficiency,” pungkas Yadin.
Comments