“Tax Ratio” Mandek, Praktisi Usul Wajib Pajak Diberi Kebebasan Gunakan PPh Final Sukarela
Pajak.com, Jakarta – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan beberapa lembaga internasional menyoroti stagnasi rasio pajak Indonesia yang tidak beranjak pada kisaran 10 persen. Praktisi yang merupakan Founder/Senior Tax Partner of GNV Consulting Services Ahdianto ini pun mengusulkan gagasan kebijakan krusial yang diyakini mampu mendongkrak rasio pajak.
Dalam perbincangan eksklusif bersama Pajak.com, Ahdianto mengusulkan agar pemerintah memberikan opsi kebebasan pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) final secara sukarela kepada lebih banyak Wajib Pajak. Penerima penghargaan Indonesia Tax Disputes and Litigation Firm in 2020 dan 2018 dalam ajang International Tax Review (ITR) Asia Tax Awards menjelaskan, skema tersebut membuka ruang pilihan kepada Wajib Pajak untuk membayar pajak dengan tarif tertentu sekaligus mendapat jaminan kepastian hukum selama lima tahun ke depan, karena terhindar dari risiko pemeriksaan dan sengketa pajak.
“Kalau dari perspektif Wajib Pajak yang saya amati, mereka lebih mengharapkan suatu kepastian hukum dalam konteks perpajakan. Ketidakpastian hukum merupakan risiko yang mahal. Bagi banyak Wajib Pajak, ketidakpastian ini muncul dalam bentuk potensi pemeriksaan yang bisa berlangsung bertahun-tahun, menyita waktu, energi, biaya hukum, dan bahkan dapat mengganggu perkembangan bisnis,” jelas Ahdianto
Sebagaimana diketahui, selama ini Wajib Pajak hanya diberikan pilihan untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajaknya berdasarkan sistem self assessment. Di sisi lain, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) berwenang mengoreksinya melalui mekanisme pemeriksaan pajak.
“Mengapa enggak dari awal saja Wajib Pajak diberikan pilihan, membayar [pajak] dengan persentase tertentu. Misalkan, pilihan menghitung pajak terutang langsung dari omzet. Katakanlah, misalnya 5 persen dari omzet yang sudah final. Jadi, sudah tidak perlu di-audit. Artinya, Wajib Pajak mendapatkan kepastian selama 5 tahun [untuk tidak dilakukan pemeriksaan pajak]. Ketidakpastian yang tinggi akan mengganggu business as usual,” jelas Ahdianto.
Dengan demikian, Ahdianto mengusulkan agar PPh final dihitung dari persentase tertentu atas omzet atau penghasilan bruto. Skema ini berbeda dari skema perpajakan reguler yang menghitung PPh berdasarkan laba fiskal.
Namun, Tax Controversy Leader and Indirect Tax Leader ITR World Tax ini juga menyarankan pemerintah untuk menetapkan tarif PPh final yang bervariasi—tergantung jenis usaha dengan mempertimbangkan besaran persentase yang relevan, serta berdasarkan data historis rata-rata sektor usaha yang dimiliki otoritas pajak.
Ahdianto menyebut, skema PPh final yang saat ini baru diterapkan hanya berlaku pada sektor-sektor tertentu, seperti usaha mikro kecil menengah (UMKM) dengan tarif PPh final 0,5 persen dari omzet; jasa konstruksi dengan tarif sesuai klasifikasi pekerjaan; persewaan tanah dan/atau bangunan (tarif final 10 persen), dan beberapa sektor lainnya.
Ia optimistis gagasan kebijakan PPh final secara sukarela mampu memberikan kesederhanaan dan kepastian hukum bagi lebih banyak Wajib Pajak.
“Kini saatnya mendorong pemerintah untuk memperluas skema PPh Final sebagai fasilitas sukarela bagi seluruh Wajib Pajak, bukan hanya sektor tertentu. Melalui skema ini, Wajib Pajak yang memilih untuk menyetor PPh berdasarkan omzet pada tarif tertentu akan memperoleh jaminan tidak dilakukan pemeriksaan PPh badan untuk tahun pajak bersangkutan,” jelas Ahdianto.
Apabila pemeriksaan tetap diperlukan, menurutnya, hanya cukup dilakukan dalam bentuk penelitian terbatas untuk menguji kebenaran omzet yang dilaporkan. Dengan demikian, prosedur ini akan jauh lebih efektif dan efisien dibandingkan dengan proses pemeriksaan pajak yang menyeluruh, sehingga membutuhkan banyak waktu dan sumber daya.
“Di tengah upaya mendorong kepatuhan sukarela dan efisiensi administrasi perpajakan, pendekatan ini menawarkan jalan tengah—negara tetap memperoleh penerimaan, sementara Wajib Pajak memperoleh kepastian hukum,” imbuh Ahdianto.
Berdasarkan pengalamannya mendampingi Wajib Pajak lebih dari 25 tahun, kepastian hukum terhadap tidak adanya risiko sengketa pajak merupakan fasilitas yang sangat dinantikan.
“Artinya, mereka tidak perlu lagi melalui proses keberatan, banding di Pengadilan Pajak, atau bahkan Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung. Seluruh proses yang sering kali menguras waktu, tenaga, dan biaya selama bertahun-tahun. Dengan memilih skema PPh final, Wajib Pajak dapat menghindari konflik fiskal yang melelahkan dan fokus sepenuhnya pada pengembangan usahanya,” ujar Ahdianto.
Ia mengatakan bahwa gagasan kebijakan PPh final secara sukarela sejatinya senada dengan kebijakan tax amnesty yang menjamin tidak adanya pemeriksaan bagi Wajib Pajak yang mengikuti program tersebut.
“Skenario seperti ini pun sebenarnya agak-agak mirip. Hanya sajak tax amnesty [jaminan untuk tidak diperiksa] untuk tahun-tahun kebelakang. Sementara, kebijakan PPh final secara sukarela untuk tahun pajak berjalan. Jadi, Wajib Pajak dikasih pilihan fasilitas untuk menghitung pajak dengan persentase tertentu dari omzet dan sudah menjamin tidak dilakukan pemeriksaan atau pemeriksaan terbatas,” tegasnya lagi.
Secara regulasi, menurut Ahdianto, gagasan tersebut dapat dipayungi hukum Pasal 4 ayat 2 UU PPh yang mengatur tentang penghasilan tertentu. Skema ini seirama dengan pemberlakuan PPh final 0,5 persen kepada UMKM atau PPh final khusus sektor konstruksi. Skema tersebut telah dituangkan dalam PP Nomor 23 Tahun 2018 yang diperbarui dengan PP Nomor 55 Tahun 2022.
“Pertama, dari sisi pembatasan penghasilannya dulu pasti perlu peraturan pemerintah. Kedua, mungkin perlu perubahan dari sisi undang-undang yang bisa diatur dengan PP mengenai pengecualian pemeriksaan pajak. Misalkan, [klausul nya] tidak dilakukan pemeriksaan pajak atau pemeriksaan pajak terbatas pada omzet tertentu atau Wajib Pajak seperti apa—misalnya bentuk PT (perseroan terbatas) bisa diatur. Artinya, terbuka tanpa merubah undang-undang,” jelas Ahdianto.
Comments