Menu
in ,

Tax Amnesty Jilid II: Potensi Tingkatkan Investasi Pada SBN

Pajak.com, Jakarta – Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Rusli Abdullah menilai, program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak atau kerap disebut tax amnesty jilid II berpotensi meningkatkan investasi pada surat berharga negara (SBN), tetapi akan menghambat pengembangan bisnis energi baru terbarukan (EBT).

“Di tahun 2022 kita butuh pemasukan yang banyak untuk pembayaran beban fiskal yang luar biasa berat di tengah pandemi. Makanya, tarif pajak bagi harta yang dilaporkan secara sukarela menjadi hanya enam persen jika diinvestasikan pada SBN,” kata Rusli dalam webinar bertajuk Menakar Untung Rugi RUU HPP, pada (6/10).

Penetapan program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak telah tertuang dalam Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP) Bab V. Melalui regulasi ini pemerintah menetapkan, bahwa harta yang dilaporkan secara sukarela di dalam wilayah Indonesia hanya akan dikenakan tarif enam persen asalkan harta itu diinvestasikan pada sektor pengelolaan sumber daya alam (SDA), energi baru dan terbarukan (EBT) di Indonesia, atau diinvestasikan pada SBN.

Demikian pula dengan harta di luar wilayah Indonesia yang dilaporkan secara sukarela. Harta itu juga hanya akan dikenakan pajak sebesar enam persen apabila telah dialihkan ke dalam wilayah Indonesia dan diinvestasikan pada sektor pengelolaan SDA, EBT, atau diinvestasikan pada SBN.

“Dengan suku bunga deposito yang rata-rata di bawah lima persen, otomatis kalau seandainya mereka mau declare harta dan boleh diinvestasikan ke SBN, mereka akan memilih SBN daripada pengelolaan SDA atau EBT,” kata Rusli.

Seperti diketahui pengelolaan SDA maupun EBT memerlukan biaya yang tidak murah, sehingga diprediksi Wajib Pajak (WP) tidak akan memilih ini.

Di lain sisi, RUU HPP juga menetapkan bahwa WP akan diberikan tarif delapan persen jika tak mau menginvestasikan hartanya ke sektor SDA, EBT, dan SBN. Menurutnya, selisih tarif tidak terlalu jauh, tetapi WP tidak perlu repot mengelola SDA maupun mengembangkan EBT.

“Takutnya juga dengan ada klausul ini, ketika ada tender, ada pihak-pihak yang deklarasi tax amnesty. Pengusaha yang murni dan memang punya kredibilitas tapi dikalahkan dengan (yang deklarasi tax amnesty),” ungkap Rusli.

Artinya, lanjut Rusli, jika yang menang tender adalah WP yang mengikuti program tax amnesty jilid II dan mereka tidak memiliki pengalaman serta kemampuan di bidang EBT, maka pengelolaan industri EBT akan terganggu.

Secara umum, menurut Rusli, pemerintah sengaja merancang RUU HPP untuk menjadi alat mengembalikan defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) ke bawah tiga persen dari produk domestik bruto (PDB) pada 2023 mendatang. Sehingga membutuhkan penerimaan pajak yang cepat.

INDEF berharap, selain menetapkan UU HPP, pemerintah juga harus mempercepat pengesahan RUU Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD). RUU ini akan membantu pemerintah mengoptimalkan penerimaan pajak pusat dan daerah.

Dalam RUU HKPD, pemerintah pusat juga tak lagi mematok dana alokasi umum (DAU) untuk daerah sebesar 26 persen dari pendapatan dua tahun sebelum APBD tahun berjalan. RUU HKPD merupakan revisi UU Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang berlaku yakni UU Nomor 33 Tahun 2004.

“Saya melihat secara ekonomi dan politik, ini salah satu usaha pemerintah untuk menopang beban fiskal di tahun 2023, tahun 2024, dan seterusnya,” tambah Rusli.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version