Tak Terapkan IT Inventory, Fasilitas Kepabeanan Perusahaan di Kawasan Berikat Terancam Dicabut
Pajak.com, Jakarta – Perusahaan yang menikmati fasilitas kepabeanan seperti Kawasan Berikat diminta tidak main-main dalam pengelolaan sistem IT Inventory. Pasalnya, jika sistem pencatatan barang tersebut tidak sesuai ketentuan, otoritas berwenang bisa menjatuhkan sanksi tegas mulai dari pembekuan hingga pencabutan fasilitas. Hal ini disampaikan Tax Manager TaxPrime Surabaya Branch Anang Febita Kurniawan, yang menekankan pentingnya keseriusan perusahaan dalam menerapkan IT Inventory yang andal dan sesuai regulasi.
“Kalau secara umum di peraturan-peraturan, referensi penggunaan IT Inventory itu memang dengan tegas dan jelas itu menggarisbawahi bahwa kalau misalkan perusahaan tidak menyelenggarakan IT Inventory, [akibatnya] Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tidak bisa mengakses secara real time ataupun continue mutasi barang masuk maupun keluar dan keterkaitannya dengan dokumen kepabeanan,” jelas Anang kepada Pajak.com, dikutip pada (12/5/2025).
Menurut Anang, kondisi tersebut bukan hanya berdampak pada pengawasan, tetapi bisa langsung berujung pada sanksi administratif. “Perusahaan bisa diberikan sanksi mulai dari pembekuan sampai dengan pencabutan fasilitas. Jadi misalkan dibekukan, berarti untuk sementara waktu perusahaan tidak dapat memanfaatkan fasilitas fiskal. Tujuannya agar perusahaan memperoleh cukup waktu untuk melakukan perubahan terhadap IT Inventory-nya. Atau yang kedua, kalau memang tidak bisa memperbaiki IT Inventory-nya, pasti akan di cabut fasilitasnya. Berarti kan perusahaan sama sekali tidak bisa memperoleh fasilitas lagi,” lanjutnya.
Fasilitas Kawasan Berikat, misalnya, memberikan keuntungan besar bagi perusahaan berupa penangguhan berbagai jenis pajak dan bea masuk atas impor barang, seperti mesin atau bahan baku. Saat barang masuk ke Indonesia melalui skema ini, perusahaan tidak langsung membayar bea masuk, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Impor, Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 Impor, maupun Pajak Dalam Rangka Impor (PDRI). Namun, manfaat ini hanya berlaku selama fasilitas masih aktif.
Agar fasilitas itu tetap bisa digunakan, perusahaan wajib memenuhi prasyarat mutlak, yaitu pengelolaan IT Inventory yang sesuai regulasi. Hal ini sudah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 131/PMK.04/2018 dan PER-19/BC/2018 tentang Tata Laksana Kawasan Berikat.
Aturan tersebut mewajibkan sistem IT Inventory memiliki kemampuan sebagai berikut:
- Mencatat pemasukan dan pengeluaran barang, termasuk barang dalam proses produksi, penyesuaian, dan hasil stock opname secara kontinu dan real time.
- Menghasilkan laporan:
1. Pemasukan barang per dokumen pabean;
2. Pengeluaran barang per dokumen pabean;
3. Posisi barang dalam proses produksi; dan
4. Mutasi barang, termasuk bahan baku, barang jadi, scrap, dan peralatan kantor.
- Sistem dapat diakses oleh petugas Bea Cukai selama 24 jam.
- Terintegrasi dengan sistem akuntansi yang menghasilkan laporan keuangan.
Keberadaan IT Inventory bukan sekadar syarat administratif. Sistem ini menjadi indikator kesiapan dan keseriusan perusahaan dalam menjalankan kegiatan produksi dan distribusi yang tertib serta sesuai hukum. Bea Cukai pun sangat mengandalkan sistem ini sebagai alat pengawasan yang efisien, karena memungkinkan pejabat Bea Cukai untuk memantau data secara langsung tanpa perlu datang ke lokasi.
Meski begitu, Anang mencatat adanya tantangan dalam implementasi di lapangan. Salah satu kendala utama adalah tidak adanya aplikasi IT Inventory yang secara resmi direkomendasikan oleh Bea Cukai. Akibatnya, banyak perusahaan merasa kebingungan dalam menyesuaikan sistem internal mereka agar sesuai dengan standar.
“Nah ini kan jadi semacam perusahaan jadi meraba-raba,” katanya.
Meski demikian, Anang menekankan pentingnya pendampingan dari konsultan pajak. “Konsultan pajak ini berperan sangat penting dan signifikan untuk membantu perusahaan lebih paham terhadap kebutuhan IT Inventory, bisa membantu memahami benefit-nya, kemudian memitigasi atau meminimalisir cost ataupun risiko-risiko,” jelasnya.
Tingkat kesadaran perusahaan dalam menerapkan IT Inventory juga sangat beragam. Beberapa masih menggunakan sistem sederhana seperti spreadsheet, sementara lainnya sudah beralih ke aplikasi berbasis komputer atau bahkan web. Keputusan memilih sistem ini sepenuhnya dikembalikan kepada perusahaan, selama memenuhi standar teknis dari DJBC.
“Bea Cukai juga tidak merekomendasikan penggunaan IT Inventory tertentu, karena mereka independen dan tidak mau masuk ke ranah yang merupakan ranahnya perusahaan,” jelas Anang.
Lebih dari sekadar alat pencatatan, IT Inventory menjadi fondasi pengelolaan barang, pelaporan, hingga pengawasan kepabeanan. Sistem ini menghubungkan semua aktivitas logistik dengan tanggung jawab perpajakan dan kewajiban ekspor-impor perusahaan.
Perusahaan yang serius ingin memanfaatkan fasilitas kepabeanan harus memastikan sistem IT Inventory-nya bukan hanya berfungsi, tetapi sesuai standar. Karena jika tidak, bukan hanya risiko sanksi yang menghantui, tapi juga potensi hilangnya keunggulan kompetitif di pasar global.
Comments