Shopee hingga Tokopedia Jadi Pemungut Pajak, DJP: Ini Cuma Mekanisme Pembayaran dan Bukan Pajak Baru
Pajak.com, Jakarta – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menyebut bahwa pemerintah tengah melakukan finalisasi aturan mengenai penunjukan marketplace, seperti Shopee hingga Tokopedia, sebagai pemungut pajak. Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat (P2Humas) DJP Rosmauli (Ros) menegaskan, kebijakan tersebut bukan merupakan pajak baru, hanya mekanisme pembayaran pajak yang akan mempermudah pedagang 0n-line.
Ros menekankan, hingga saat ini usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) dengan omzet kurang dari Rp4,8 miliar per tahun dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) 0,5 persen. Tarif tersebut berlaku sejak ditetapkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2018. Kemudian, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 dan PP Nomor 55 Tahun 2022 membebaskan pajak bagi UMKM dengan omzet kurang dari Rp500 juta per tahun.
“Tarif PPh itu masih berlaku, enggak sama sekali berubah. Jadi, enggak ada pajak baru, ini cuma mekanisme pembayaran. Pada prinsipnya semua pelaku usaha yang punya penghasilan dengan kriteria tertentu pastinya harus bayar pajak. Entah dia on-line maupun off-line atau konvensional, itu pasti bayar pajak,” ujarnya dalam sebuah talkshow bertajuk Bisnis Digital Siap Pajak, dikutip Pajak.com (3/7/25).
Dengan demikian, Ros menegaskan rencana penunjukan marketplace adalah upaya pemerintah memudahkan pedagang on-line untuk membayar pajak. Karena PPh final langsung dipotong oleh marketplace.
“Kalau dulu mungkin seharusnya pelaku usaha on-line dan off-line kan harus bayar pajak sendiri, menghitung sendiri. Tapi nanti enggak, pemerintah memberikan sarana melalui marketplace, yang artinya UMKM tinggal berusaha saja. Pajaknya dipotong oleh dipungut oleh marketplace,” jelas Ros.
Ia juga menekankan bahwa kebijakan penunjukan marketplace sebagai upaya pemerintah menciptakan keadilan bagi seluruh pelaku usaha, baik on-line maupun off-line. Ros mengutip data dari Kementerian Perdagangan (Kemendag) yang mencatat jumlah uang yang beredar di perdagangan 0n-line sekitar Rp450 triliun pada tahun 2024 dan diproyeksi mengalami peningkatan di 2025. Di sisi lain, kepatuhan pajak pedagang on-line masih belum optimal.
“Kepatuhan pembayar pajak bagi UMKM dengan omzet di atas Rp500 juta itu masih kurang. Nah, ini kan kita mau memberikan keadilan bagi para pelaku usaha, baik yang on-line maupun konvensional. Karena pada prinsipnya ya memang semua pelaku usaha seharusnya bayar pajak,” tegas Ros.
Selain itu, ia memastikan tidak ada pajak berganda bagi UMKM yang memiliki bisnis on-line dan off-line. Sebab UMKM seharusnya menghitung PPh final berdasarkan omzet yang didapatkan dari berjualan on-line maupun off-line.
“Dia hitung dari keduanya ternyata omzetnya lebih dari Rp500 juta, berarti kena PPh final 0,5 persen. Kemudian ketika dihitung lagi ternyata memang ada pajak yang kurang dibayar, jadi kredit pajak dari keseluruhan pajak yang harus dibayar,” ujar Ros.
Ia mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk memberi masukan mengenai regulasi penunjukan marketplace sebagai pemungut pajak ini. Ros meyakinkan, pemerintah tidak mungkin mendesain kebijakan untuk mematikan usaha yang tengah bertumbuh, seperti sektor ekonomi digital. Selain itu, menurutnya, kebijaan pemerintah telah berpihak kepada pengusaha kecil.
“Justru kami ingin melindungi pelaku usaha, memberikan keadilan, dan memberi awareness mengenai fasilitas perpajakan untuk UMKM beserta kewajiban yang harus dipenuhi. Kalaupun kena pajak, misalkan omzet di atas Rp500 juta dikali PPh final 0,5 persen. Berarti sekitar Rp2,5 juta UMKM harus bayar pajak per tahun, jadi Rp2,5 juta dibagi 12 bulan. Maka, sebulannya pajak yang harus dibayar sekitar Rp200 ribu something,” jelas Ros.
Comments