Menu
in ,

Risiko Tidak Validasi NIK sebagai NPWP

Risiko Tidak Validasi NIK

FOTO: Tiga Dimensi

Risiko Tidak Validasi NIK sebagai NPWP

Pajak.com, Jakarta – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akan menerapkan penggunakan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) mulai 1 Januari 2024. Proses validasi NIK sebagai NPWP pun sudah dimulai sejak 14 Juli 2022 dan akan berlangsung secara bertahap hingga akhir 2023. Lantas, apa saja risiko bila Wajib Pajak tidak validasi NIK? Tax Compliance and Audit Manager TaxPrime Nuryadin akan menguraikannya untuk Anda.

Perlu diketahui, kebijakan integrasi NIK dan NPWP diatur dalam Pasal 2 Ayat (1a) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 112/PMK.03/2022 tentang NPWP Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi, WP Badan, dan Wajib Pajak Instansi Pemerintah.

“Memang untuk punishment, belum ada aturan yang mengatur kalau Wajib Pajak tidak melakukan validasi NIK akan diberikan sanksi apa. Namun, sebenarnya ada risiko, kerugian, atau kesulitan yang akan ditanggung Wajib Pajak kalau tidak memvalidasi NIK. Mumpung masih ada waktu hingga akhir tahun, segera deh validasi NIK,” ujar Nuryadin kepada Pajak.com, (24/3).

Adapun risiko itu, meliputi pertama, Wajib Pajak tidak bisa memanfaatkan layanan administrasi pajak secara on-line, seperti e-Filing atau e-Form. Sebab untuk mengakses layanan itu, per 1 Januari 2024, Wajib Pajak harus menggunakan NIK.

“Kalau kita validasi NIK, tentu kita akan mendapatkan kemudahan layanan administrasi. Enggak perlu lagi ke kantor pajak ambil antrean, semua (administrasi pajak) bisa dilakukan sambil tiduran, makan, selesai. Sebaliknya, kalau kita tidak bisa mengakses layanan itu, tentu akan merepotkan nantinya saat mengurus kewajiban perpajakan,” ungkap Nuryadin.

Kedua, risiko kesulitan dalam mengurus administrasi negara lainnya, seperti pengurusan kepemilikan aset. Nuryadin menegaskan, administrasi perpajakan selalu akan terintegrasi dengan pelayanan publik lainnya.

“Misalnya, pada saat kita ngurus warisan, pembelian tanah, hadiah, itu akan terintegrasi juga dengan status kewajiban perpajakan kita. Kalau kita tidak validasi (NIK), akan kesulitan mengurus semuanya. Sekarang notaris sudah aware dengan kewajiban perpajakan. Kalau belum lapor, si notaris akan mengimbau kliennya untuk lapor dulu. Karena akan sulit ngurus administrasi lainnya,” ungkap Nuryadin.

Selain itu, Wajib Pajak tidak bisa mendapatkan pembiayaan di perbankan. Seperti diketahui, salah satu syarat administrasi pengajuan pembiayaan di perbankan, yakni mengharuskan nasabah melampirkan NPWP. Apabila 1 Januari 2024 NIK sudah menjadi NPWP, maka perbankan juga bakal mengubah ketentuannya. Perbankan akan menganalisa kepatuhan administrasi kewajiban perpajakan menggunakan NIK. Dengan demikian, validasi NIK menimbulkan risiko sistemik untuk mendapatkan kemudahan fasilitas publik lainnya.

Ketiga, ada risiko kena tarif Pajak Penghasilan (PPh) yang lebih tinggi. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), pengenaan tarif PPh Pasal 21 akan dikenakan 20 persen lebih tinggi bila tidak mempunyai NPWP. Selain itu, tarif pemotongan PPh Pasal 22 dan PPh Pasal 23 juga lebih tinggi 100 persen bagi Wajib Pajak yang tidak memiliki NPWP. Hal senada juga berlaku ketika Wajib Pajak tidak memvalidasi NIK. Sebab Wajib Pajak dianggap tidak memiliki NPWP.

Nuryadin optimistis, 42 juta Wajib Pajak akan melakukan validasi NIK hingga akhir tahun 2023—sesuai target DJP. Ada dua faktor yang membuatnya optimistis. Pertama, masyarakat sudah lebih dekat dengan akses teknologi, sehingga memvalidasi NIK bukanlah suatu hal yang sulit.

Kedua, dengan adanya Program Pengungkapan Sukarela (PPS) atau tax amnesty, Wajib Pajak menjadi sadar bahwa selama ini ketidakpatuhan hanya merupakan upaya untuk menyimpan risiko perpajakan. Wajib Pajak mulai memahami, DJP telah memiliki amunisi data dan informasi keuangan yang didapatkan dari instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain (ILAP). Kewajiban ILAP memberikan data dan informasi ke DJP ini diatur dalam PMK Nomor 228 Tahun 2017 tentang Rincian Jenis Data dan Informasi Serta Tata Cara Penyampaian Data dan Informasi yang Berkaitan dengan Perpajakan. DJP juga menerima data dan informasi dari otoritas pajak dunia melalui program automatic exchange of information (AEoI).

“Saat ini masyarakat sudah sangat aware dengan program-program DJP. Saya optimistis Wajib Pajak yang melakukan validasi NIK mencapai target DJP, 42 juta. Tugas kami sebagai konsultan pajak juga mendorong agar Wajib Pajak melaksanakan ketentuan yang berlaku. Jangan sampai Wajib Pajak menyimpan bom waktu,” tambah Nuryadin.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version