Menu
in ,

Realisasi Penerimaan Pajak Daerah Capai Rp 70,49 T

Realisasi Penerimaan Pajak Daerah

FOTO: KLI Kemenkeu

Pajak.com, Jakarta – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebutkan, realisasi penerimaan pajak daerah mencapai Rp 70,49 triliun sampai dengan akhir Mei 2022. Realisasi itu meningkat 7 persen dibandingkan periode yang sama di tahun lalu, yakni sebesar Rp 65,87 triliun.

“Sisi positif di daerah adalah daerah-daerah sekarang sudah mengalami penerimaan asli daerahnya, meningkat pajak daerahnya naik 7 persen. Dengan meningkatnya penerimaan pajak, maka Pendapatan Asli Daerah (PAD) didominasi oleh pajak daerah 76,7 persen, diikuti PAD lain-lain yang sah 15,6 persen, hasil-hasil kekayaan daerah yang dipisahkan 5,5 persen, retribusi daerah 2,2 persen,” ungkap Sri Mulyani dalam Konferensi Pers APBN KiTa (Kinerja dan Fakta), yang dilakukan secara virtual, dikutip Pajak.com (25/6).

Ia memerinci, realisasi peningkatan pajak daerah per Mei 2022 berasal dari pajak hiburan (83,4 persen), restoran (51 persen), parkir (49,6 persen), Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor/BBNKPB (23,4 persen), dan hotel (18,8 persen).

“Ini artinya masyarakat atau ekonomi di daerah mulai tumbuh dan aktivitasnya mulai meningkat baik dan berarti juga ini mulai menghasilkan Pendapatan Asli Daerah. Bagi pemerintah daerah, tentu ini memberikan kemampuan untuk mendapatkan rupiah atau penerimaan sendiri,” ungkap Sri Mulyani.

Ia berharap, dengan adanya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD), pemerintah daerah dapat lebih inovatif menghimpun penerimaan pajak dan retribusi untuk meningkatkan PAD. UU HKPD juga memberikan ruang bagi pemerintah daerah untuk melakukan pembiayaan kreatif dan pendanaan terintegrasi, serta meningkatkan kualitas belanja negara yang cepat dan produktif. Pemerintah memproyeksi, UU HKPD akan meningkatkan penerimaan pajak dan retribusi pemerintah daerah hingga Rp 91,3 triliun.

“UU HKPD disusun untuk menyinergikan pajak pusat dan pajak daerah, khususnya pajak yang berbasis konsumsi. Dengan adanya Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT), objek pajak berbasis konsumsi yang menjadi kewenangan daerah akan diperluas. Selain itu, PBJT juga bertujuan agar tidak tumpang tindih dengan pajak yang menjadi kewenangan pemerintah pusat. Misalnya, untuk pungutan objek rekreasi, valet parking, itu semua menjadi jelas,” jelas Sri Mulyani.

Dari sisi belanja, menurutnya, daerah belum melakukan secara optimal. Hingga Mei 2022, belanja daerah baru terealisasi sebesar Rp 241,15 triliun, terkontraksi 9,4 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Alhasil, realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) hingga Mei 2022 baru sebesar 20,9 persen, lebih rendah dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya 22,5 persen.

“Berdasarkan per fungsinya, seluruh belanja daerah mengalami anjlok jika dibandingkan periode sama tahun lalu. Untuk belanja ekonomi pada bulan lalu hanya terealisisasi Rp 14,95 triliun atau turun 10,3 persen. Kemudian untuk belanja kesehatan hanya terealisisasi Rp 36,38 triliun atau terkontraksi 10 persen  Sedangkan belanja perlindungan sosial mengalami penurunan terdalam, yakni sekitar 28,6 persen, jadi hanya Rp 2,42 triliun. Belanja pegawai juga lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya. Ini yang menjadi persoalan adalah bagaimana APBD belum juga mendorong untuk mendukung pemulihan ekonomi,” urai Sri Mulyani.

Ia juga menyebut, dana pemerintah daerah di bank tercatat sebesar Rp 200,75 triliun per Mei 2022, naik Rp 9,18 triliun atau 4,79 persen dibandingkan tahun lalu di periode yang sama.

“Nominal saldo tertinggi (di perbankan) berada di Jawa Timur sebesar Rp 25,84 triliun. Sedangkan terendah di Sulawesi Barat Rp 1,15 triliun,” ungkap Sri Mulyani.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Agus Fatoni menyebutkan, ada beberapa kendala penyebab rendahnya realisasi belanja, antara lain pertama, keraguan pemerintah daerah dalam memulai kegiatan akibat perencanaan tidak matang. Kedua, kurangnya pemahaman sumber daya manusia di dalam penerapan regulasi di bidang pelaksanaan, penatausahaan, akuntansi, dan pelaporan pertanggungjawaban keuangan daerah. Ketiga, keterlambatan pelaksanaan lelang, padahal ada aturan lelang/kontrak pengadaan dini. Keempat, kegiatan fisik menunggu selesainya kegiatan perencanaan atau detail engineering design (DED). Hal ini kerap mengakibatkan beberapa kegiatan kontraktual belum dapat dilaksanakan termasuk kegiatan yang bersumber dari Dana Alokasi Khusus (DAK). Kelima, biasanya pemerintah daerah dalam membelanjakan kas daerah memiliki pola pengajuan tagihan akhir tahun, setelah penyelesaian fisik 100 persen.

“Pengadaan barang/jasa belum mengajukan permohonan pembayaran atas penyelesaian fisik sesuai dengan termin yang diatur dalam perjanjian kontrak dengan pihak ketiga,” kata Fatoni.

Menurutnya, Kemendagri telah berupaya melakukan asistensi dengan pemerintah daerah untuk membahas regulasi terkini. Kemendagri juga membuka help desk melalui konsultasi secara on-line.

“Datang ke Kemendagri juga boleh manakala diperlukan. Kami menerima konsultasi hanya di hari Rabu saja. Kegiatan-kegiatan yang masih belum dilakukan, masih ada kesulitan perlu kita carikan solusinya sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku,” ujar Fatoni.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version