in ,

Presidensi G20 Brasil Rampungkan Kesiapan Pajak Minimum Global! Provisio Consulting Beri Perspektif Penerapannya di Indonesia 

Presidensi G20 Brasil
FOTO: Tiga Dimensi/Desain: Muhammad Ikhsan Jamaludi

Presidensi G20 Brasil Rampungkan Kesiapan Pajak Minimum Global! Provisio Consulting Beri Perpektif Penerapannya di Indonesia 

Pajak.com, Jakarta – Pertemuan Finance Ministers/Menteri Keuangan and Central Bank Governors/Gubernur Bank Sentral (FMCBG) di bawah Presidensi G20 Brasil di Rio De Janeiro pada 25 – 26 Juli 2024 telah menghasilkan beberapa kesepakatan penting. Salah satunya, komitmen rampungkan semua komponen kesiapan penerapan pajak minimum global pada Pilar II: Global Anti Base Erosion (Globe) yang diinisiasi oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD)/G20. Lantas, bagaimana dengan kesiapan Indonesia? Kepada Pajak.comDirector Provisio Consulting Deborah Sarah Najoan memberikan perspektifnya mengenai keuntungan, tantangan, dan skema alternatif penerapan pajak minimum global yang efektif di Indonesia.

Pajak Minimum Global dan 3 Skema Penerapannya

Mengawali wawancara, anggota Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) ini menjelaskan definisi pajak minimum global (global minimum tax) sebagai sistem pajak yang menetapkan tarif pajak minimum yang harus dibayar oleh perusahaan multinasional di setiap negara tempat mereka beroperasi. Pajak minimum global bertujuan untuk mencegah perusahaan-perusahaan tersebut menghindari pajak dengan mengalihkan keuntungan mereka ke negara-negara dengan tarif pajak yang lebih rendah.

“Negara-negara G-7 dan G-20 telah menyetujui kebijakan pajak minimum global bagi perusahaan multinasional dengan tarif 15 persen. Pajak minimum global akan diterapkan pada perusahaan multinasional dengan pendapatan di atas 750 juta euro per tahun,” jelas Deborah kepada Pajak.com di Graha Provisioner Bersama, Jalan Widya Chandra X No. 7, Jakarta, (27/8).

Lebih lanjut, Deborah memperkenalkan 3 skema penerapan pajak minimum global yang sudah diinisiasi sejak sekitar tahun 2015. Pertama, Income Inclusion Rule (IIR), yaitu skema yang mengharuskan perusahaan multinasional untuk menarik penghasilan yang diperoleh dari anak perusahaan yang ada di luar negeri ke negara domisili.

Kedua, Under Taxed Payments Rule (UTPR) yang mengharuskan negara induk perusahaan multinasional untuk mengenakan pajak tambahan atas pembayaran yang dilakukan oleh anak perusahaannya di negara dengan tarif pajak yang lebih rendah. Apabila pembayaran tersebut tidak dikenakan pajak atau dikenakan pajak dengan tarif yang lebih rendah dari pajak minimum global.

“Skema UTPR untuk memitigasi (praktik) penghindaran pajak, nantinya perusahaan multinasional akan lebih berhati-hati dalam melakukan transaksi keuangan dengan anak perusahaannya yang ada di negara dengan tarif pajak lebih rendah. Skema UTPR harus menjadi perhatian dari negara berkembang, termasuk Indonesia,” ujar Deborah.

Ketiga, Qualified Domestic Minimum Top up Tax (QDMTT) adalah klausal yang menjadi landasan bagi yurisdiksi untuk mengenakan pajak minimum domestik sebesar 15 persen.

“Bila suatu yurisdiksi mengenakan top up tax atas laba yang kurang dipajaki berdasarkan QDMTT, yurisdiksi tempat UPE (Ultimate Parent Entity) berlokasi kehilangan hak untuk menetapkan top up tax lewat skema IRR,” jelas Deborah. “Dalam rencana yang saat ini disusun, Pemerintah Indonesia akan mengimplementasikan ketiganya, IRR, UTPR, serta QDMTT. Ya, 3 skema ini memang satu kesatuan yang tidak terpisahkan seharusnya,” lanjutnya.

Kendati demikian, Deborah juga menyarakan agar penerapan skema pajak minimum global juga diiringi dengan penguatan kerja sama internasional, yaitu terkait pertukaran informasi dan pengawasan terhadap perusahaan-perusahaan multinasional.

“Ini untuk memastikan ketaatan terhadap pajak minimum global, sehingga penghindaran pajak dapat dikurangi dan penerimaan pajak secara global dapat ditingkatkan,” imbuh lulusan Magister Administrasi Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM) ini.

Keuntungan Penerapan Pajak Minimum Global

Deborah kembali menegaskan, bahwa skema pajak minimum global didesain untuk mengoptimalkan penerimaan pajak negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, yang kerap kehilangan pendapatan akibat praktik penghindaran pajak. Deborah yang memiliki keahlian dalam perencanaan pajak ini mengungkapkan bahwa selama ini strategi penghindaran pajak merupakan taktik yang digunakan oleh perusahaan untuk mengurangi kewajiban perpajakan.

Analisis tersebut diperkuat dengan riset yang dilakukan oleh Gabriel Zucman dalam buku The Hidden Wealth of Nation yang mengungkapkan bahwa sekitar 8 persen dari kekayaan global dari berbagai perusahaan ditempatkan di negara-negara yang ditengarai sebagai tax haven. Parahnya, 80 persen dari dana yang ditempatkan di tax haven itu tidak diketahui oleh otoritas pajak.

“Beberapa strategi yang umum digunakan perusahaan, yaitu abuse of transfer pricing, penghindaran pajak melalui negara dengan tarif pajak rendah atau bebas pajak, serta penggunaan perusahaan cangkang. Penerapan pajak minimum global akan mengurangi praktik BEPS (Base Erosion and Profit Shifting) yang selama ini marak terjadi. Dengan adanya pajak minimum global, perusahaan-perusahaan tidak bisa lagi menghindari pembayaran pajak sepenuhnya atau membayar pajak yang sangat rendah dengan memanfaatkan celah hukum atau melakukan abuse of transfer pricing,” ujar Deborah.

Dengan demikian, keuntungan positif dari adopsi pajak minimum global bagi Indonesia adalah berpotensi meningkatkan penerimaan pajak yang sejatinya linear dengan agenda Reformasi Perpajakan Jilid III melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

“Pajak minimal global membuat perusahaan multinasional akan memiliki lebih sedikit ruang untuk menghindari pajak dengan cara memanfaatkan perbedaan tarif pajak antar-negara. Misalnya, pada skema IIR dapat membuat perusahaan multinasional lebih sulit untuk memindahkan laba yang didapat, ke negara yang memiliki tarif pajak lebih rendah. Dengan adanya skema ini perusahaan multinasional, tidak bisa lagi menetapkan harga transfer yang tidak wajar untuk anak usahanya yang berada di negara dengan tarif pajak lebih rendah,” jelas Deborah yang juga berpengalaman dan memiliki keahlian dalam menghadapi sengketa di Pengadilan Pajak.

Baca Juga  Analisis PP 22/2024: Keuntungan, Syarat, hingga Tantangan untuk Tarik Minat Eksportir

Tantangan Penerapan Pajak Minimum Global 

Namun, ia menggaris bawahi, dampak dari kebijakan pajak minimum global akan tergantung pada setiap negara mengatasi tantangan dalam menyusun kebijakan teknis domestik. Deborah berpandangan, tantangan tersebut dapat tecermin dari masih adanya penolakan penerapan pajak minimum global oleh beberapa negara.

“Sebanyak 35 yurisdiksi sebenarnya telah menerapkan ketentuan mengenai pajak minimum global. Jika dibandingkan dengan yurisdiksi yang menyepakati konsensus, angka itu masih sangat terbatas. Situasi ini menandai lambannya respons banyak negara untuk menerapkan skema tersebut. Hal ini menandakan bahwa meski banyak negara telah mendukung, faktanya eksekusi pun tak kunjung dilaksanakan dengan berbagai pertimbangan subjektif,” ungkap Deborah.

Prognosisnya, belum seluruh negara termasuk Indonesia, mampu menyesuaikan mekanisme serta regulasi domestik dengan konsep yang terkandung dalam OECD G20 BEPS. Pasalnya, pajak minimum global berpotensi mengubah pola aliran modal global.

“Karena penerapan skema pajak minimum global bisa menghambat investasi asing ke negara berkembang. Di sisi lain, potensi penerimaan yang bisa dikantongi negara pun tak bisa dibilang tinggi. Karena tarif pajak minimum global sebesar 15 persen itu hanya bisa dikenakan atas perusahaan multinasional dengan threshold peredaran bruto di atas 750 juta euro per tahun. Artinya, tidak semua korporasi bisa tercakup dalam skema tersebut,” jelas Deborah.

Di sisi lain, mayoritas negara ASEAN, termasuk Indonesia masih mengandalkan insentif Pajak Penghasilan (PPh) badan untuk menarik minat investor. Maka persoalannya adalah apabila negara menebar insentif sehingga tarif efektif PPh badan di bawah batas pajak minimum global sebesar 15 persen, maka pemerintah akan kehilangan hak pemajakan.

“Pilar II ini memberikan kewenangan kepada negara asal korporasi untuk memungut pajak jika negara pasar menetapkan tarif di bawah 15 persen. Asumsi soal terbatasnya keuntungan yang diterima negara berkembang dari skema pajak minimum global bukan omong kosong belaka. Sejumlah lembaga internasional pun telah menyoroti hal ini dan menyarankan negara berkembang untuk melakukan mitigasi risiko-risiko tersebut,” ujar Deborah.

Ia menyoroti, risiko tersebut tengah dipersiapkan Pemerintah Indonesia melalui proses penyusunan regulasi teknis dalam bentuk peraturan menteri keuangan (PMK) mengenai pajak minimum global.

“Proses penyusunan regulasi teknis mengenai pajak minimum global memang cukup pelik, karena memiliki efek yang besar pada prospek penerimaan nasional. Terlebih, pemerintah memastikan pada tahun ini (2024) diskon pajak dalam bentuk tax holiday tetap berlanjut untuk sektor-sektor proritas, ini sangat jelas kontraproduktif dengan esensi Pilar II. Sebab dengan diberikannya diskon, pajak yang dibayarkan oleh Wajib Pajak berpotensi di bawah 15 persen—tarif yang menjadi batas dari pajak minimum global. Dalam situasi tersebut, pemerintah bakal kehilangan hak pemajakan,” jelas Deborah.

Ia melanjutkan, apabila ditemukan selisih antara tarif pajak minimum global dengan tarif pajak efektif yang berlaku bagi perusahaan multinasional yang berinvestasi di Indonesia, maka negara domisili atau yurisdiksi asal bisa menerapkan IIR yang menjadi bagian dari UTPR.

“Alhasil, negara asal perusahaan multinasional yang berinvestasi di Indonesia itu berwenang mengenakan top up tax. Artinya, pajak yang dibayarkan perusahaan tersebut akan mengalir ke negara asal, bukan Indonesia. Menurut saya, inilah yang menjadi dilema bagi pemangku kebijakan sehingga perumusan regulasi tak kunjung tuntas,” jelas Deborah.

Untuk itu, itu ia berharap Pemerintah Indonesia terus mempersiapkan diri untuk menerapkan kebijakan internasional demi menciptakan regulasi perpajakan yang adil untuk menerapkan skema Pilar II secara efektif.

“Dari dalam negeri, Indonesia telah memiliki UU HPP dalam mendukung Pilar II tersebut. Dan saat ini Indonesia masih melakukan pengkajian terhadap dampak dari pilar II perpajakan ini terhadap skema insentif dan penerimaan perpajakan nasional,” tambah Deborah.

Skema Alternatif Penerapan Pajak Minimum Global di Indonesia 

Deborah memberikan saran mengenai alternatif skema penerapan pajak minimum global di Indonesia. Menurutnya, pemerintah dapat mengadopsi skema pajak minimum dalam negeri yang berkualitas lewat QDMT. Meskipun perlu diingat bahwa sejatinya penerapan 3 skema (IIR, UTPR, dan QDMT) dalam Pilar II bisa dilakukan seirama.

Qualified Domestic Minimum Top up Tax dapat diterapkan dalam peraturan domestiknya. Melalui QDMT, pemerintah diwajibkan untuk memberlakukan perlakuan yang sama kepada MNE (perusahaan multinasional) dan Wajib Pajak lainnya. Keuntungannya adalah bahwa pemerintah tidak akan kehilangan potensi pajak jika tingkat pajak efektif lebih rendah dari 15 persen,” jelas Deborah.

Secara simultan, ia menyarankan agar Pemerintah Indonesia dapat mengubah insentif pajak menjadi bentuk insentif lainnya, seperti menjadi subsidi listrik, gas, atau stimulus bagi tenaga kerja.

“Mengubah insentif pajak menjadi bentuk insentif lain memungkinkan Indonesia untuk menerapkan pajak minimum global sambil tetap menarik bagi para investor. Artinya, Pemerintah Indonesia dapat terus memberlakukan pajak minimum global sebesar 15 persen, tetapi menggunakan kembali hasilnya untuk keuntungan investasi Wajib Pajak dengan membangun infrastruktur seperti pelabuhan, zona bebas, dan kawasan ekonomi khusus lainnya,” ungkap Deborah.

Mengakhiri wawancara, Alumnus Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Klabat (Minahasa Utara) ini pun optimistis, penggunaan pendapatan dari pajak minimum global untuk proyek-proyek infrastruktur tidak hanya akan menarik investasi, tetapi juga mampu menyerap tenaga kerja dalam negeri yang berimplikasi pada pengurangan pengangguran serta meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB) dan perekonomian nasional.

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *