Praktisi Pajak Ungkap Filosofi dan Kompleksitas Penghitungan DPP Nilai Lain yang Masih Berlaku hingga Kini
Pajak.com, Jakarta – Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 11 Tahun 2025 tentang Ketentuan Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak (DPP) dan Besaran Tertentu Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Dalam wawancara eksklusif bersama Pajak.com, praktisi pajak yang merupakan Partner TaxPrime Aries Prasetyo mengungkap filosofi dan kompleksitas penghitungan DPP nilai lain.
Ia mengingatkan bahwa sejatinya pengaturan DPP nilai lain bukan baru pertama kalinya diterapkan oleh pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 131 Tahun 2024 dan PMK Nomor 11 Tahun 2025. Menurutnya, DPP nilai lain juga telah diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
”Di UU PPN, ini sudah digunakan penghitungannya untuk perusahaan ekspedisi yang dikenakan 1 persen. Itu karena mereka tidak ada lagi pajak masukan yang dapat diperhitungkan. Jadi, 1 persen sudah memperhitungkan pajak masukan dan keluaran sehingga PPN-nya hanya 1 persen. Kalau pakai tarif normal, akan sulit menghitung pajak masukan. Makanya, pemerintah memberikan kemudahan dengan menggunakan skema DPP nilai lain,” ungkap Aries dalam wawancara di Kantor TaxPrime Menara TTH Jakarta Selatan, dikutip Pajak.com, (28/5/25).
Dengan demikian, menurutnya, penggunaan DPP nilai lain dalam penghitungan PPN saat ini bukan merupakan suatu perubahan ekstrem bagi perusahaan. Terlebih PMK Nomor 11 Tahun 2025 semakin memberikan panduan rigid bagi perusahaan untuk mematuhi kewajiban perpajakan atas PPN.
Aries berpandangan, tidak ada kompleksitas penghitungan DPP nilai lain 11/12 yang signifikan. Hadirnya PMK Nomor 11 Tahun 2025 menjawab kebutuhan Wajib Pajak untuk menjaga agar penyesuaian tarif PPN menjadi 12 persen tidak berimbas pada barang dan jasa yang tidak masuk kategori mewah.
Ia menjelaskan, PMK Nomor 11 Tahun 2025 mengatur skema penghitungan PPN dengan DPP nilai lain dan besaran tertentu PPN dengan tarif 12 persen (12 % x 11/12 x DPP dan formula tertentu x 12 % x 11/12 x DPP). Misalnya, penghitungan barang kena pajak (BKP) berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan dan masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, maka rumusnya adalah 12 % x ((11/12) x harga pasar wajar).
”PMK ini memberikan kepastian hukum yang jelas bagi Wajib Pajak. Karena disitu sudah dijelaskan terkait dengan pengenaan PPN yang secara besaran tidak berubah, tetapi hanya mekanismenya saja yang berubah. Perubahan mekanisme itu juga tidak jadi masalah, yang menjadi sorotan justru masalah administrasi perpajakan pembuatan faktur pajak, bukan masalah DPP nilai lain 11/12 persennya, tapi pembuatan faktur pajak dalam core tax,” ungkap Aries.
Ia menyarankan agar perusahaan memanfaatkan masa transisi hingga 31 Maret 2025 untuk menyesuaikan sistem pengenaan DPP nilai lain dan mengikuti perkembangan penyesuaian core tax, khususnya terkait pembuatan faktur pajak.
”Hal yang menjadi kendala saat ini mengenai administrasi core tax, namun terkait pembuatan faktur pajak, PKP [Pengusaha Kena Pajak] sudah bisa kembali menggunakan e-Faktur sebagai alternatif. Saya yakin core tax ini terus mengalami perbaikan, dan yang jelas PMK-PMK ini saya rasa tidak mengganggu iklim investasi maupun bisnis,” jelas Aries.
Selain tidak memiliki kompleksitas tinggi, ia juga berpandangan penerapan DPP nilai lain dalam menghitung PPN tidak berimplikasi kepada konsumen. Sebab barang dan/atau jasa kena pajak masih dikenakan tarif PPN 11 persen.
”Penghitungan DPP nilai lain yang sempat menjadi perbincangan ini sekiranya tidak perlu dikhawatirkan masyarakat, apalagi kaitannya dengan penurunan daya beli masyarakat dan penurunan pertumbuhan ekonomi nasional,” pungkas Aries.
Comments