in ,

Perhitungan Sanksi Pajak Gunakan Suku Bunga Acuan BI

Perhitungan Sanksi Pajak
FOTO: IST

Perhitungan Sanksi Pajak Gunakan Suku Bunga Acuan BI

Pajak.com, Jawa Timur – Direktur Peraturan Perpajakan I Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Hestu Yoga Saksama mengungkapkan, DJP telah menggunakan perhitungan pengenaan sanksi administrasi perpajakan dengan perhitungan baru, yakni dengan menggunakan acuan pada suku bunga acuan Bank Indonesia (BI).

Perhitungan baru pengenaan sanksi administrasi pajak ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker). Hestu menekankan, sanksi administrasi merupakan substansi penting dalam UU Ciptaker yang terkait dengan revisi aturan Kitab Undang-Undang Perpajakan (KUP).

Sebelumnya, apa itu sanksi administrasi pajak? Sanksi administrasi pajak adalah sanksi yang diberikan kepada Wajib Pajak karena tidak mematuhi peraturan dan ketentuan pajak yang berlaku.

Apa saja jenis sanksi administrasi pajak? Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 yang merupakan perubahan dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983, sanksi administrasi pajak meliputi:

  1. Ketidaklengkapan pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) tahunan.
  2. Sanksi telat membayar pajak.
  3. Sanksi tidak membayar pajak.
  4. Sanksi kurang bayar pajak.

Sementara, apa itu suku bunga acuan? Suku bunga acuan adalah besaran bunga yang ditetapkan setiap bulannya oleh bank sentral untuk menjadi acuan berbagai produk pinjaman bank dan lembaga keuangan lainnya.

Baca Juga  Kantor Pajak Buka Pelayanan Pelaporan SPT di Sabtu dan Minggu

“Dalam UU Cipta Kerja, kami banyak melakukan moderasi sanksi. Kalau dulu bunga itu flat, salahnya apa saja flat. Telat bayar pajak, pembetulan, kemudian pemeriksaan dan lain-lain bunganya flat. Kami mengkonstruksikan sanksi sesuai suku bunga acuan. Enggak flat gitu saja,” Namun, DJP juga menambahkan gradasi kesalahan. Semakin banyak kesalahannya, level kesalahannya, ada kenaikan di situ (sanksi pajaknya),” jelas Hestu dalam Sosialisasi UU Cipta Kerja Klaster Perpajakan di Surabaya, Jawa Timur, (25/8).

DJP telah berupaya mempelajari penerapan di berbagai negara dan berkonsultasi dengan stakeholders untuk menemukan pola sanksi baru yang dirasa bisa diterima oleh Wajib Pajak. Formulasinya, yaitu suku bunga acuan ditambah dengan persentase uplift, kemudian dibagi 12 (jumlah bulan dalam setahun). Dalam hal ini, uplift merupakan dari tingkatan kesalahannya.

“Misalnya, kurang bayar penundaan SPT tahunan dikenakan uplift sebesar nol persen. Sementara itu, pajak atau kurang dibayar akibat salah tulis dan hitung atau PPh (Pajak Penghasilan) tahun berjalan akan mendapatkan uplift 5 persen. Jenis kesalahan ketiga, contohnya sudah diperiksa tetapi punya niat untuk mengungkapkan ketidakbenarannya, maka uplift-nya dikenakan 10 persen. Kesalahan fatal lainnya, Wajib Pajak tidak memiliki niat apapun untuk melaporkan pajaknya, DJP akan mengenakan uplift 15 persen. Ini kita membuat konstruksi yang make sense dari pandangan Wajib Pajak dan pengusaha,” urai Hestu.

Baca Juga  Kanwil DJP Jakbar Catat Penerimaan Pajak Rp 10,27 T

Ia menilai, penerapan sanksi itu sudah berlaku dan sudah berjalan dengan baik, sehingga DJP berharap dapat meningkatkan kepatuhan sukarela. Hestu juga memastikan seluruh aturan turunan UU Ciptaker klaster perpajakan sudah diterbitkan DJP dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

“Peraturan pelaksanaan dari UU Cipta Kerja sudah diterbitkan secara keseluruhan, tidak ada lagi utang kami. Dalam hal ini, aturan perpajakan turunan UU Ciptaker termuat dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 2021 dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 18 Tahun 2021,” sebut Hestu.

Ia meyakini, segala manfaat kemudahan berusaha dari klaster perpajakan dalam aturan UU Ciptaker sudah dirasakan para pengusaha dan atau Wajib Pajak. UU Ciptaker mengubah regulasi pada tiga UU perpajakan, yakni Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan KUP.

Baca Juga  Jelang Lebaran, DJP Imbau Wajib Pajak Tidak Berikan Parsel

“Karena sudah terimplementasi dengan sebaik-baiknya. Undang-Undang Cipta Kerja klaster kemudahan berusaha di bidang perpajakan secara regulasi sudah lengkap, tidak ada PR (pekerjaan rumah) sama sekali, dan sudah terimplementasi dengan sebaik-baiknya,” ujar Hestu.

Kendati demikian, DJP dan Kemenkeu selalu terbuka menerima testimoni dari pengusaha dan Wajib Pajak mengenai implementasi dari UU Ciptaker klaster perpajakan. Selain itu, bisa juga mengadukan mengenai penyalahgunaan aturan ini.

“Kami di kantor pusat selalu melakukan evaluasi, melihat apakah ini sudah berjalan, dan membantu para pengusaha, Wajib Pajak, dengan substansi-substansi yang kita memang taruh di dalam UU Cipta Kerja,” kata Hestu.

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *