Penerimaan Pajak Jebol, IEF: Pemerintah Berpotensi Revisi Kebijakan Perpajakan Dalam Waktu Dekat
Pajak.com, Jakarta – Indonesia Economic Fiscal (IEF) Research Institute menilai tren penurunan penerimaan pajak yang berkelanjutan sejak awal tahun 2025 membuat pemerintah berada dalam tekanan fiskal yang serius. Kondisi ini berpotensi mendorong pemerintah untuk merevisi kebijakan perpajakan dalam waktu dekat sebagai respons terhadap ketimpangan antara pendapatan dan belanja negara.
Direktur Eksekutif IEF Research Institute Ariawan Rahmat menjelaskan bahwa hingga Mei 2025, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mencatat defisit sebesar Rp21 triliun, atau setara dengan 0,09 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Defisit ini dipicu oleh belanja negara yang telah mencapai Rp1.016,3 triliun, melampaui pendapatan negara yang hanya sebesar Rp995,3 triliun.
Menurut Ariawan, meski baru terealisasi 28,1 persen dari total anggaran APBN 2025 yang sebesar Rp3.621,3 triliun, komposisi belanja ini sudah menunjukkan tekanan berat terhadap fiskal.
Untuk membiayai defisit tersebut, pemerintah telah melakukan penarikan utang baru hingga Rp349,3 triliun per Mei 2025, melonjak 164 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang hanya sebesar Rp132,2 triliun. Sebagian dari utang ini dialokasikan untuk membiayai program prioritas seperti Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) dan ketahanan pangan.
Meski demikian, kata Ariawan, rasio utang terhadap PDB masih tercatat turun menjadi 30,3 persen per April 2025, dengan total utang luar negeri mencapai 431,55 miliar dolar AS.
Di sisi penerimaan, sektor pajak menunjukkan kontraksi signifikan. Hingga Mei 2025, penerimaan pajak tercatat menurun sebesar 10,13 persen. Bahkan pada Februari 2025, penerimaan pajak turun drastis hingga 30,1 persen menjadi Rp187,8 triliun dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Kondisi ini membuat penerimaan pajak tahun 2025 berpotensi meleset dari target hingga Rp120–Rp140 triliun.
“Penurunan harga komoditas ekspor, pelemahan ekonomi, serta belum optimalnya sistem administrasi pajak [Coretax] pada awal tahun lalu turut memperparah tekanan terhadap pendapatan negara. Situasi ini akan memaksa pemerintah mempertimbangkan kebijakan yang lebih agresif di bidang perpajakan,” ujar Ariawan sebagaimana dikutip Pajak.com pada Kamis (26/6/25).
Dalam kesempatan itu, Ariawan menjelaskan bahwa dalam kerangka hukum, Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 dan UU Nomor 28 Tahun 2007 memberikan ruang bagi pemerintah untuk melakukan penyesuaian kebijakan, seperti menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) hingga maksimal 15 persen, memperluas basis pajak, serta memperketat pengawasan melalui pemeriksaan dan penagihan.
Wacana kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen yang sebelumnya sempat ditangguhkan, kini kembali menjadi isu yang relevan untuk dikaji. Namun, Ariawan mengingatkan agar kebijakan ini tidak dilakukan secara tergesa-gesa, mengingat daya beli masyarakat yang belum sepenuhnya pulih dan tekanan terhadap konsumsi domestik masih tinggi.
Sebagai opsi alternatif, Ariawan menyarankan pemerintah memperluas cakupan basis PPN melalui revisi atas negative list atau dengan memperketat pengawasan terhadap transaksi digital dan sektor ekonomi daring yang berisiko tinggi tidak tercatat (unrecorded economy).
“Strategi ini saya rasa lebih moderat dan tidak memukul konsumsi secara langsung,” jelasnya.
Comments