Penerimaan Pajak Anjlok Akibat Restitusi, IWPI Usul Prabowo Revisi UU PPN
Pajak.com, Jakarta – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatatkan realisasi penerimaan pajak hingga Mei 2025 mencapai Rp683,3 triliun. Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu menyebut kinerja itu turun sebesar 10,14 persen akibat tingginya restitusi. Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI) Rinto Setiyawan pun menyoroti tingginya restitusi pajak sektor tambang sebagai salah satu penyebab utama anjloknya penerimaan pajak, sehingga IWPI mengusulkan kepada Presiden Prabowo Subianto merevisi Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Rinto menjelaskan bahwa dalam UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) sebagaimana diubah terakhir dengan UU Nomor 2 Tahun 2025, pemerintah menghapus daftar barang yang tidak dikenai PPN. Akibatnya, seluruh barang hasil pertambangan, termasuk batu bara, minyak, gas, dan logam, sekarang menjadi Barang Kena Pajak (BKP).
“Namun, karena ketentuan ekspor tetap dikenai PPN 0 persen berdasarkan Pasal 7 ayat (2) huruf a UU PPN, para eksportir tambang tidak dikenakan PPN atas penjualannya ke luar negeri, tetapi tetap berhak mengajukan restitusi PPN masukan. Kondisi ini menimbulkan ’subsidi fiskal terbalik’ yang membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN),” jelasnya dalam keterangan tertulis yang diterima Pajak.com, (19/6/25).
Rinto menyebutkan, pada Pasal 7 ayat (2) huruf a UU PPN berbunyi, “Tarif PPN sebesar 0 persen diterapkan atas ekspor BKP berwujud“. Dengan demikian, Rinto menilai regulasi tersebut berpotensi merugikan negara.
IWPI mencatat bahwa sepanjang 2020 hingga 2023, pemerintah telah mengembalikan dana restitusi PPN sebesar Rp253 triliun hanya untuk enam jenis barang tambang, yaitu batu bara, besi/baja, gas alam, minyak, lignit, dan minyak mentah. Menurut Rinto, kondisi ini sangat tidak adil bagi keuangan negara dan berpotensi memperlebar ketimpangan fiskal.
“Negara justru membayar kembali PPN yang tidak pernah dipungut, dan ini mayoritas dinikmati oleh konglomerasi tambang. Ini bentuk subsidi tersembunyi untuk para oligarki tambang,” ujarnya.
IWPI Usulkan Revisi UU PPN
Oleh sebab itu, IWPI mengusulkan agar pemerintah dan DPR merevisi UU PPN, khususnya untuk pengecualian barang tambang dari tarif 0 persen PPN ekspor. Rinto menyarankan tarif PPN khusus ekspor tambang sebesar 5-10 persen agar ada kontribusi riil dari sektor tambang ke APBN, restitusi besar-besaran bisa dikendalikan, dan tercipta keadilan fiskal dan konstitusional, sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945.
“Kalau negara tidak segera melakukan revisi, maka APBN kita akan terus terkuras. Ini bukan hanya masalah teknis fiskal, ini masalah moral konstitusi,” tegas Rinto.
Ia berpandangan, kendati secara hukum perpajakan, ekspor berhak atas restitusi, namun dari sisi keadilan konstitusional dan ekonomi. Menurut Rinto, negara berhak dan wajib mengatur mekanisme khusus untuk barang tambang, karena sifatnya yang strategis dan berasal dari kekayaan alam milik negara.
“Jangan sampai rakyat yang bayar PPN rokok dan sabun, tapi pengusaha tambang justru dikembalikan pajaknya triliunan rupiah,” imbuh Rinto.
IWPI mendesak pemerintah untuk tidak lagi bersikap pasif terhadap beban restitusi pajak dari sektor tambang. Dengan revisi UU PPN dan pemberlakuan tarif khusus untuk ekspor tambang, negara bisa memperbaiki ketimpangan fiskal dan memulihkan keadilan konstitusional dalam pengelolaan sumber daya alam.
“Negara tidak boleh rugi di tanah sendiri,” pungkas Rinto.
Comments