Menu
in ,

Pajak Minimum Global Berlaku, Tetap Berikan “Tax Holiday”

Pajak.com, Jakarta – Menteri Investasi (Menves)/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia memastikan, meskipun pajak minimal global berlaku, Indonesia akan tetap memberikan tax holiday atau tax allowance untuk investor meskipun konsensus pajak minimum global sebesar 15 persen mulai berlaku tahun depan.

Sekilas gambaran, pajak minimum global merupakan salah satu pilar yang telah disepakati oleh negara-negara anggota Inclusive Framework OECD/G20 untuk diterapkan pada tahun 2023. Kesepakatan telah tercapai pada Oktober 2021. Pajak minimum global dengan tarif 15 persen nantinya akan berlaku atas korporasi multinasional dengan pendapatan global sebesar 750 juta euro atau lebih tinggi. Bila tarif pajak efektif perusahaan multinasional pada suatu yurisdiksi tidak mencapai 15 persen, top-up tax berhak dikenakan oleh yurisdiksi tempat korporasi multinasional bermarkas. Pengenaan top-up tax dilakukan berdasarkan Income Inclusion Rule (IIR). Artinya, dengan adanya konsensus ini tax holiday dan tax allowance berpotensi menjadi tidak menarik untuk diberikan. Jika tax holiday diberikan, penghasilan yang tidak kena pajak oleh negara berkembang sekalipun pada akhirnya akan dipajaki oleh yurisdiksi lokasi perusahaan bermarkas.

Seperti diketahui, tax holiday merupakan insentif yang diberikan kepada perusahaan yang melakukan penanaman modal baru pada industri pionir atau industri yang memiliki keterkaitan luas; memberi nilai tambah dan eksternalitas yang tinggi; memperkenalkan teknologi baru; serta memiliki nilai strategis bagi perekonomian nasional. Fasilitas yang ditawarkan tax holiday berupa pengurangan tarif Pajak Penghasilan (PPh) badan sebesar 100 persen, jika nilai modal baru yang ditanamkan paling sedikit Rp 500 miliar. Pengurangan tarif itu berlaku selama 5 hingga 20 tahun—tergantung pada nilai modal baru yang ditanamkan.

Sedangkan, tax allowance diberikan kepada perusahaan yang memenuhi kriteria, yakni memiliki nilai investasi yang tinggi; berorientasi ekspor; memiliki penyerapan tenaga kerja yang besar; dan punya kandungan lokal yang tinggi. Fasilitas yang diberikan, antara lain pengurangan penghasilan neto sebesar 30 persen dari jumlah nilai penanaman modal berupa aktiva tetap berwujud untuk kegiatan usaha utama; kompensasi kerugian yang lebih lama dari lima tahun, tetapi tidak lebih dari 10 tahun.

“Dari sejak 2021, global minimum tax sebenarnya ide dari negara-negara maju sebenarnya. Nah, sebenarnya setiap negara yang mau memasukkan dananya ke dalam negeri lewat investasi pasti punya strategi. Ibu Menkeu Sri Mulyani Indrawati sedang menggodok tentang strategi bagaimana kita bisa menyiasati secara konstruktif dan positif agar substansi dari pada pajak minimum global 15 persen ini tak menghambat laju FDI (Foreign Direct Investment),” ungkap Bahlil dalam Konferensi Pers Realisasi Triwulan I Tahun 2022, secara virtual, (27/4).

Kendati demikian, ia tidak bisa menjelaskan secara rinci terkait skema itu—termasuk terkait insentif fiskal—karena menyangkut strategi investasi Indonesia yang tidak bisa dibuka sepenuhnya ke publik. Seperti diketahui, meskipun pembahasan insentif fiskal dilakukan bersama Kementerian Keuangan (Kemenkeu), namun Kementerian Investasi (Kemenves)/BKPM merupakan pihak yang berwenang memberikan tax holiday atau tax allowance kepada investor.

“Selama saya masih jadi menteri investasi, insyaallah tax holiday masih tetap berjalan. Saya tidak bisa menjelaskan detailnya. Jadi, teman-teman investor, monggo saja (mengajukan tax holiday atau tax allowance) enggak ada masalah itu. Bisa kita atur,” jelas Bahlil.

Sebelumnya, kepada Pajak.com, Bahlil mengungkap, pihaknya telah mengajukan pembahasan kajian mengenai tax allowance dan tax holiday dengan Kemenkeu. Usulan ini dilakukan agar pemberian insentif fiskal dapat memberi manfaat yang adil bagi investor dan negara.

“Kami sudah mengajukan ada pembahasan kajian ke Kemenkeu. Dalam pembahasan kajian kami, ada bagian (tax holiday/tax allowance) yang tidak perlu lagi dilakukan. Contoh, jenis usaha yang dulunya pionir, sekarang perusahaan bukan pionir lagi, karena sudah banyak. Kita juga pikir perusahaan ini BEP (Break Even Point) nya lama, ternyata dia juga perusahaan BUT (Bentuk Usaha Tetap) empat tahun sudah BEP. Ngapain kita kasih tax allowance atau tax holiday itu puluhan tahun?,” kata Bahlil.

Ia menegaskan, pemberian insentif fiskal berupa tax allowance dan tax holiday masih penting diberikan karena menjadi salah satu faktor menarik bagi investor.

“Setiap negara berkompetisi untuk bagaimana mendapat FDI. Oleh karena itu, setiap negara mengeluarkan jurusnya. Pertama, investor akan melihat infrastruktur. Kedua, bagaimana perizinan. Ketiga, insentif tax allowance dan tax holiday, pertanyaannya apakah masih optimal? Jawabannya, masih (optimal), masih penting untuk dilakukan. Tapi jangan sampai investor dikasih, tapi negara enggak dapat apa-apa,” jelas Bahlil.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Febrio Nathan Kacaribu juga mengungkapkan, Kemenkeu tengah mengkaji besaran insentif pajak yang diterima investor, meliputi realisasi dan dampaknya kepada negara. Kemenkeu berupaya memastikan efektivitas belanja perpajakan (tax expenditure) sesuai dengan kebutuhan dunia usaha dan investasi.

“Kami pastikan (tax holiday dan tax allowance) itu menciptakan lapangan kerja. Kami juga akan lihat komitmennya (investor) dengan yang dijanjikan—berapa lapangan kerja dan nilai investasinya. Ini akan kami awasi ke depannya,” jelas Febrio dalam webinar Indonesia Macroeconomic Updates 2022 bertajuk Dinamika Ekonomi Global dan Domestik Terkini, (4/4).

Pembahasan dan evaluasi ini juga dikarenakan realisasi insentif fiskal untuk investor tidak terlalu besar dari rata-rata jumlah belanja perpajakan sebesar Rp 250 triliun per tahunnya. Insentif pajak justru banyak dinikmati oleh rumah tangga dan usaha mikro kecil menengah (UMKM). Artinya, asumsi sementara, tax holiday dan tax allowance tidak terlalu memilik banyak peminat.

“Kami mempunyai data dari 2016 sampai sekarang. Dari Rp 250 triliun rata-rata belanja setiap tahun, paling tidak Rp 60 triliun sampai Rp 70 triliun buat UMKM dan 50 persen nya untuk rumah tangga, seperti bahan kebutuhan pokok dan transportasi umum—itu tidak kita kenakan pajak,” ujar Febrio.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version