Menu
in ,

Pajak Kripto Jadi Tonggak Sinergisitas OJK dan Bappebti

Pajak Kripto Jadi Tonggak

FOTO: IST

Pajak.com, Jakarta – Pengamat kripto sekaligus Direktur PT TRFX Garuda Berjangka Ibrahim Assuaibi menilai, penetapan pajak kripto merupakan tonggak sinergisitas antara Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Badan Pengawas Perdagangan berjangka Komoditi (Bappebti) dalam mendukung ekosistem aset kripto di Indonesia. Hal ini akan semakin menambah kepercayaan dan minat investor terhadap aset kripto.

“Ini merupakan tonggak awal Bappebti dan OJK untuk saling mendukung dan mengawasi. Saya mengapresiasi kementerian keuangan yang sudah menjembatani kekisruhan, beda tafsir antara pandangan Bappebti yang menetapkan kripto sebagai komoditas dan OJK yang menilai kripto sebagai alat pembayaran,” jelas Ibrahim dalam keterangan tertulis yang dikutip Pajak.com, (13/4).

Menurutnya, penerbitan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 68/PMK.03/2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan atas Transaksi Perdagangan Aset Kripto, merupakan bukti bahwa pemerintah mengakui perdagangan aset kripto sebagai alat komoditas yang diawasi oleh Bappebti.

Selain itu, terbitnya PMK Nomor 68 Tahun 2022 juga memberi kepastian hukum kepada pedagang kripto, seperti Indodax, Tokocrypto, dan lainnya. Ibrahim mendorong agar pelaku bisnis maupun investor dapat menerima dan menjalankan dengan baik regulasi yang mulai berlaku 1 Mei 2022 itu.

“Kami optimistis, dengan peraturan pajak kripto ini, tidak serta merta membuat investor kripto di Indonesia meninggalkan aset tersebut. Justru sebaliknya, akan menambahkan kepercayaan tersendiri bagi masyarakat (investor) yang saat ini sedang ramai-ramainya berinvestasi dan yang terpenting transaksi benar-benar diawasi oleh pemerintah,” tambahnya.

Seperti diketahui, PMK Nomor 68 Tahun 2022 telah mengatur tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) untuk transaksi kripto. PPN yang dipungut dan disetor pedagang fisik aset kripto sebesar 1 persen dari tarif PPN atau 0,11 persen dikali dengan nilai transaksi kripto. Bila perdagangan tidak dilakukan pedagang fisik aset kripto, maka PPN yang dipungut dan disetor sebesar 2 persen dikali nilai transaksi kripto. Sementara, atas penyerahan jasa verifikasi transaksi aset kripto dan mining pool, PPN yang harus dipungut dan disetor sebesar 10 persen dari tarif PPN umum atau 1,1 persen dikali nilai berupa uang atas aset kripto yang diterima penambang (miner).

Selain itu, penjual kripto akan dikenai PPh Pasal 22 yang bersifat final dengan tarif 0,1 persen. Namun, bila penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik atau bukan pedagang fisik aset kripto, PPh Pasal 22 bersifat final yang dipungut sebesar 0,2 persen. Bagi penambang, pengenaan PPh Pasal 22 bersifat final dengan tarif 0,1 persen.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat (P2Humas) Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Neilmaldrin Noor memastikan, pemerintah berupaya menerapkan aturan pajak yang mudah dan sederhana dalam memajaki aset kripto.

Sementara menurut Kepala Sub Direktorat Pajak Pertambahan Nilai, Perdagangan, Jasa, dan Pajak Tidak Langsung Lainnya DJP Bonarsius Sipayung, penetapan pajak kripto mengusung prinsip keadilan.

“Jangan sampai pajak kripto melebihi biaya transaksi. Karena akan merusak ekosistem aset kripto—itu yang pertama. Kedua, mengusung konsep keadilan dan menyesuaikan kebijakan kripto di dunia. Jangan sampai investor berkali-kali (kena pajak) dan kenapa 0,1 persen? karena benchmark-nya salah satunya dari pengenaan pajak untuk transaksi saham,” jelas Bonarsius.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version