OJK: Nilai Transaksi Bursa Karbon Capai Rp77,25 Miliar Hingga Februari 2025
Pajak.com, Jakarta – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat nilai transaksi Bursa Karbon Indonesia terus menunjukkan tren positif. Hingga 28 Februari 2025, total transaksi telah mencapai Rp77,25 miliar dengan volume perdagangan sebesar 1.578.443 tCO2e. Sejak diluncurkan pada 26 September 2023, Bursa Karbon telah mengantongi 110 pengguna jasa yang mendapatkan izin.
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif, dan Bursa Karbon OJK Inarno Djajadi menyatakan bahwa pihaknya terus berupaya mendorong pendalaman pasar bursa karbon. Salah satu langkah yang dilakukan adalah bersinergi dalam kunjungan kerja ke fasilitas pembangkit listrik energi terbarukan guna meningkatkan pasokan kredit karbon di bursa.
“Di samping itu, kegiatan kunjungan kerja juga mencakup pembahasan mengenai dukungan atas program hilirisasi pemerintah,” jelas Inarno dalam konferensi pers, dikitip Pajak.com pada Kamis (6/3/2025).
Apa Kabar Penerapan Pajak Karbon di Indonesia?
Penerapan pajak karbon di Indonesia masih menjadi pembahasan yang terus berkembang. Indonesia telah resmi mengadopsi kebijakan pajak karbon melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Pajak ini dikenakan atas emisi gas rumah kaca yang dilepaskan ke atmosfer, yang berasal dari aktivitas bisnis maupun kegiatan sehari-hari manusia.
Namun, implementasi pajak karbon mengalami penundaan. Awalnya direncanakan berlaku mulai 1 April 2022, tetapi pemerintah menunda hingga tahun 2025. Keputusan ini diambil dengan mempertimbangkan berbagai aspek, seperti kondisi ekonomi, kesiapan pelaku usaha, kelembagaan dan tata kelola, serta sistem pelaporan, pemantauan, dan verifikasi emisi gas rumah kaca.
Pajak karbon akan diterapkan pertama kali pada sektor energi, khususnya subsektor pembangkit listrik. Ke depan, skema ini kemungkinan diperluas ke sektor lain, seperti limbah, kehutanan, industri, serta agrikultur. Masing-masing sektor ini berada di bawah kewenangan berbagai kementerian dan lembaga negara, termasuk Kementerian Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Saat ini, subsektor pembangkit listrik dianggap paling siap dalam penerapan pajak karbon. Kementerian ESDM telah menerbitkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 16 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon, serta memiliki sistem pelaporan, pemantauan, dan verifikasi yang sudah berjalan bagi pelaku usaha di sektor ini.
Pendapatan dari pajak karbon diharapkan dapat memperlebar ruang fiskal Indonesia, terutama untuk mendukung program pemerintahan baru. “Di tengah kebutuhan pendanaan program kerja pemerintahan baru serta perlunya memperlebar ruang fiskal yang dimiliki Indonesia, pendapatan pajak karbon dapat menjadi salah satu solusi yang bisa dipertimbangkan untuk menambah ruang fiskal Indonesia,” kata Wahyu Muzakki, pegawai Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebagaimana dilansir dari Pajak.go.id.
Sebuah studi yang dilakukan oleh Pratama, dkk. (2022) memperkirakan bahwa penerapan pajak karbon di Indonesia dapat menghasilkan pendapatan sebesar Rp23 triliun pada tahun 2025, hanya dari sektor energi saja. Angka ini menunjukkan bahwa pajak karbon memiliki potensi besar untuk membantu menyeimbangkan APBN dan mendukung pembangunan berkelanjutan.
Comments