OECD Dorong Indonesia Segera Terapkan Pajak Karbon
Pajak.com, Jakarta – Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) dalam laporan terbaru bertajuk Survei Ekonomi Indonesia pada 26 November 2024, menyoroti pentingnya penerapan pajak karbon di Indonesia sebagai langkah mendesak untuk menghadapi perubahan iklim.
Laporan tersebut menekankan bahwa Indonesia sangat rentan terhadap dampak pemanasan global dan perlu mempercepat transisi energi guna mencapai target emisi nol bersih (net-zero) pada 2060 atau lebih cepat. “Penerapan pajak karbon yang tepat perlu dipercepat,” tulis OECD dalam laporannya, dikutip Pajak.com pada Jumat (29/11).
OECD menilai bahwa langkah transisi menuju pasar energi yang berbasis harga harus segera dipercepat. Untuk mewujudkan hal tersebut, tanggung jawab regulasi di sektor energi perlu dialihkan kepada otoritas independen yang memiliki wewenang dan sumber daya keuangan yang memadai.
Selain itu, penerapan pajak karbon dianggap krusial dalam mendukung upaya dekarbonisasi. Pajak ini diharapkan dapat mendorong perubahan perilaku di sektor industri dan meningkatkan investasi pada energi terbarukan seperti tenaga surya, bayu, dan panas bumi.
Dalam laporan tersebut, OECD menjelaskan bahwa dekarbonisasi di Indonesia membutuhkan percepatan penonaktifan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dan peralihan ke energi terbarukan. Selain itu, investasi besar diperlukan untuk memperbarui jaringan listrik dan mengembangkan transportasi massal perkotaan serta transportasi antarkota berbasis kereta api.
“Pengarusutamaan adaptasi perubahan iklim membutuhkan penguatan kapasitas kelembagaan, mekanisme tata kelola, serta kerangka kerja perencanaan dan pemrograman, termasuk dengan dukungan internasional,” jelas OECD.
OECD menegaskan bahwa untuk mencapai target dekarbonisasi tersebut, Indonesia perlu mengalokasikan investasi besar dalam beberapa tahun mendatang. Skenario business-as-usual yang mengabaikan mitigasi perubahan iklim dinilai dapat menimbulkan dampak serius bagi perekonomian dan kesejahteraan masyarakat. Sebagai bagian dari upaya transisi hijau, Indonesia berpeluang menjadi contoh global melalui program Just Energy Transition Partnership (JETP).
“Mengganti bahan bakar fosil sehingga emisi gas rumah kaca (GRK) mencapai puncaknya selambat-lambatnya pada tahun 2030 dan mencapai emisi nol bersih pada tahun 2060 membutuhkan investasi yang cukup besar,” tulis OECD.
Namun, transisi ini tidak hanya bergantung pada investasi energi terbarukan seperti tenaga surya, bayu, dan panas bumi. Peran perusahaan energi milik negara juga krusial. OECD merekomendasikan agar perusahaan milik negara ini bertindak lebih transparan dan bertanggung jawab sebagai satu-satunya pembeli (off-taker) di pasar energi.
Sektor transportasi juga mendapat perhatian khusus. OECD menyebutkan bahwa transportasi merupakan penyumbang emisi GRK terbesar kedua di Indonesia. Oleh karena itu, pengembangan sistem transportasi massal yang efisien dan ramah lingkungan perlu diprioritaskan.
Di sisi lain, adaptasi terhadap perubahan iklim juga menjadi tantangan signifikan. OECD memperingatkan bahwa risiko bencana seperti banjir dan kekeringan akan meningkat, sehingga diperlukan kebijakan mitigasi yang lebih kuat. Pengelolaan lahan dan perluasan asuransi menjadi langkah penting untuk melindungi masyarakat dan sektor bisnis dari dampak perubahan iklim.
Meski laju deforestasi di Indonesia telah mencapai titik terendah dalam 20 tahun terakhir, OECD menilai upaya perlindungan hutan dan lahan gambut masih perlu ditingkatkan sebagai bagian dari strategi mitigasi dan untuk membantu mengurangi dampak bencana alam terkait iklim.
Comments