OECD Beberkan Sederet Rekomendasi untuk Kerek Penerimaan Pajak
Pajak.com, Jakarta – Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) mengungkapkan tantangan dan rekomendasi terkait upaya peningkatan rasio pajak Indonesia dalam Survei Ekonomi Indonesia yang dirilis pada 26 November 2024. OECD mencatat bahwa tingkat penerimaan pajak Indonesia secara historis masih rendah, yang berdampak pada keterbatasan anggaran pemerintah untuk membiayai program prioritas.
“Tingkat pajak di Indonesia secara historis rendah, sehingga membatasi kemampuan pemerintah untuk membiayai program prioritas. Serupa dengan belanja pemerintah, penerimaan pajak Indonesia masih menjadi salah satu yang terendah di ASEAN,” tulis OECD dalam laporannya, dikutip Pajak.com pada Kamis (28/11).
OECD menyoroti berbagai hambatan, seperti tingginya pekerjaan informal dan rendahnya tingkat kepatuhan pajak, sebagai masalah utama.
OECD mencatat, sebagian besar penerimaan pajak Indonesia berasal dari pajak penghasilan badan (PPh badan) serta pajak barang dan jasa seperti PPN (Pajak Pertambahan Nilai). Namun, tingkat penerimaan dari kedua jenis pajak tersebut, termasuk cukai dan pajak properti, tergolong salah satu yang terendah dalam perhitungan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Selain itu, volatilitas harga komoditas dunia turut memengaruhi royalti sektor ekstraksi dan PPh di sektor tersebut, yang pada gilirannya berdampak pada fluktuasi penerimaan pajak.
“Harga komoditas sendiri merupakan salah satu penyumbang penurunan rasio penerimaan pajak terhadap PDB sebelum pandemi dan pemulihannya sejak tahun 2022,” tulis OECD.
Sebagaimana diketahui, pemerintahan baru di bawah Presiden Prabowo Subianto berencana untuk meningkatkan rasio pajak dari 13,5 persen saat ini menjadi 23 persen dari PDB pada tahun 2029.
OECD merekomendasikan beberapa langkah strategis untuk meningkatkan penerimaan pajak. Salah satunya adalah memperluas basis pajak, termasuk dengan menurunkan pendapatan tidak kena pajak (PTKP) dan ambang batas atas struktur tarif pajak. Selain itu, basis PPN perlu diperluas dengan menurunkan ambang batas registrasi wajib. “Penghindaran pajak masih sering terjadi di kalangan usaha dan individu berpenghasilan tinggi serta di sektor ekonomi informal,” jelas OECD.
Digitalisasi dianggap sebagai langkah penting dalam pengumpulan pajak. OECD merekomendasikan penggunaan data pihak ketiga, pembuatan profil risiko secara otomatis, dan memastikan jumlah staf administrasi pajak memadai. Langkah ini diyakini mampu meningkatkan pengumpulan pajak secara efektif.
Terkait pajak karbon, OECD menyoroti bahwa pajak karbon baru-baru ini diperkenalkan melalui bursa karbon untuk pembangkit listrik tenaga uap, namun masih rendah dan terbatas. Untuk memperbaiki hal ini, OECD merekomendasikan perluasan pajak karbon ke sektor-sektor baru serta peningkatan tarif secara bertahap.
Di tingkat daerah, OECD menyarankan pemerintah untuk mengizinkan pemerintah lokal meningkatkan nilai appraisal properti hingga mencapai estimasi penuh dari harga pasar. “Tarif pajak properti, dan pendapatan yang dikumpulkan dari pajak tersebut, rendah dibandingkan dengan rata-rata ASEAN. Valuasi properti untuk keperluan pajak jauh di bawah harga pasar,” sebut laporan OECD.
OECD juga merekomendasikan agar cukai rokok dinaikkan dan diharmonisasikan untuk seluruh jenis produk, termasuk rokok kretek linting tangan. Menurut OECD, tarif cukai rokok dinaikkan pada tahun 2023 dan 2024, namun tetap rendah jika dibandingkan level internasional. Adapun, merokok masih menjadi tantangan kesehatan penting di Indonesia dan menimbulkan kerugian ekonomi yang besar.
Comments