Menu
in ,

Munas NU: Pajak Karbon untuk Konservasi Lingkungan

Munas NU Usulkan Pajak Karbon Wajib untuk Konservasi Lingkungan

FOTO: IST

Pajak.com, Jakarta – Komisi Bahtsul Masail Qanuniyyah dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama (Munas Alim Ulama NU atau Munas NU) 2021 mengusulkan agar Rancangan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum Perpajakan (RUU KUP) mengatur kewajiban pengalokasian dana yang bersumber dari pajak karbon untuk konservasi lingkungan, penanggulangan krisis lingkungan, maupun pengurangan emisi.

“Kami mengkritisi ini, karena di dalam RUU KUP itu menggunakan kata ‘dapat’. Maka kami mengusulkan agar itu menjadi wajib,” jelas Sekretaris Komisi Bahtsul Masail Qanuniyyah KH Sarmidi Husna, pada (26/8).

Kiai Sarmidi mengemukakan, pemberlakuan pajak karbon merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk konservasi lingkungan dan menumbuhkan nilai ekonomi. Di sisi lain, pemerintah juga perlu mengatur perdagangan karbon dan pemberian insentif bagi pihak yang mengurangi emisi.

Seperti diketahui, pajak karbon merupakan kewajiban yang akan dikenakan pada bahan bakar fosil. Dengan demikian, menurut Kiai Sarmidi, penerapannya sekaligus membuktikan komitmen pemerintah untuk mengurangi emisi karbon dioksida dan gas rumah kaca lainnya sebagai upaya mengatasi pemanasan global.

“Dari sisi tujuan pajak karbon itu tidak ada masalah karena tujuannya baik. Tetapi kami memberi catatan, ketika pajak karbon itu diberlakukan, maka hasil pungutan pajak karbon itu harus benar-benar diperuntukkan untuk melakukan kegiatan pengurangan emisi dan konservasi lingkungan,” tegasnya.

Selain itu, Kiai Sarmidi mengungkapkan, peserta dalam Komisi Bahtsul Masail Qanuniyyah telah menyepakati perlunya pengaturan ulang tata cara penghitungan karbon.

“Karena ini menjadi alat bisnis bagi kelompok-kelompok tertentu. Ini beberapa hal yang menjadi catatan kami,” jelasnya.

Sekretaris Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (Lakpesdam PBNU) Marzuki Wahid menambahkan, penetapan usulan pajak karbon sejatinya telah mengacu pada Muktamar ke-29 tahun 1994 di Cipasung, Jawa Barat. Kala itu, PBNU memutuskan bahwa masalah lingkungan hidup bukan lagi hanya merupakan masalah politis atau ekonomis, melainkan juga menjadi masalah teologis (diniyah), mengingat dampak kerusakan lingkungan hidup juga memberi ancaman terhadap kepentingan ritual agama dan kehidupan umat manusia.

“Karena itu, usaha pelestarian lingkungan hidup harus dipandang dan disikapi sebagai salah satu tuntutan agama yang wajib dipenuhi oleh umat manusia, baik secara individual maupun secara kolektif,” kata Marzuki.

Sebelumnya, pemerintah telah menyerahkan usulan pengenaan pajak karbon kepada Panita Kerja (Panja) Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Usulan itu dituangkan dalam RUU Perubahan Kelima atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, pengenaan pajak karbon merupakan bagian strategi dari upaya Indonesia untuk mengurangi gas rumah kaca. Hal itu seirama dengan komitmen Indonesia di Paris Agreement pada tahun 2016. Indonesia berkomitmen untuk mencapai target nationally determined contribution (NDC) sebesar 41 persen pada 2030 dalam penanganan perubahan iklim.

“Pajak karbon akan bersinergi dengan pasar karbon untuk memperkuat ketahanan perekonomian Indonesia dari risiko perubahan iklim,” jelas Sri Mulyani.

Saat ini usulan pengenaan pajak karbon telah masuk tahap pembahasan daftar inventaris masalah (DIM) RUU. Dalam DIM itu secara umum anggota Panja Komisi XI DPR setuju atas rencana pengenaannya. Namun, beberapa anggota menolak besaran tarif Rp 75 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) yang diusulkan pemerintah.

Fraksi Partai Gerindra meminta agar tarif pajak karbon ditetapkan paling rendah sebesar Rp 5 per kilogram CO2e atau paling tinggi Rp 10 per kilogram CO2e. Alasannya, tarif itu paling moderat, mengingat Indonesia masih dalam proses pemulihan ekonomi.

Usulan senada juga dicetuskan Fraksi Partai Nasdem. Mereka meminta agar tarif pajak karbon sebesar Rp 5—Rp 10 per kilogram CO2e. Alasannya, penetapan tarif harus menyesuaikan dengan tarif di negara lain.

Sementara Fraksi Partai Gerindra ingin supaya pajak karbon diimplementasikan lima tahun setelah RUU KUP diundangkan. Sebab saat ini Indonesia masih fokus pada upaya mendorong peningkatan kinerja badan usaha demi mempercepat pemulihan ekonomi.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version