Menu
in ,

INDEF: Pemerintah Kaji Ulang Rencana Kenaikan PPN

INDEF Sarankan Pemerintah Kaji Ulang Rencana Kenaikan PPN

FOTO: IST

Pajak.com, Jakarta – Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad menyarankan agar pemerintah dapat mengkaji ulang rencana kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen. Sebab hal itu akan berpotensi menghambat pemulihan ekonomi nasional. Di sisi lain, pemulihan ekonomi merupakan faktor utama yang akan mendorong tercapainya target penerimaan perpajakan yang meliputi, pajak, bea dan cukai, serta penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

“Kami lebih setuju pemerintah tidak melakukan banyak jumping dalam peningkatan tarif pajak dalam proses pemulihan ekonomi. Khususnya, PPN. Saya kira itu perlu perhitungan matang, pemerintah perlu mengkaji ulang rencana kenaikan PPN, apakah itu tepat dilakukan? Toh, sudah banyak negara melakukan kebijakan, bukan PPN yang dinaikkan, tetapi meningkatkan ekosistem perpajakan—seperti bagaimana meningkatkan database, kepatuhan, perbaikan struktur kontribusi Wajib Pajak,” kata Tauhid dalam acara INDEF Talks, pada (26/9).

Dengan demikian, ketimbang menaikkan tarif PPN, ia lebih menyarankan agar pemerintah fokus mendorong peningkatan kontribusi Wajib Pajak (WP) badan yang saat ini baru 50 persen. Kemudian, otoritas diharapkan dapat menggali potensi penerimaan pajak lainnya.

“Kita lihat, penerimaan pajak kita lebih banyak dari pajak penghasilan (PPh) karyawan, seharusnya gali juga yang PPh non-karyawan, itu datanya saya kira sudah banyak,” tambahnya.

Dari sisi PNBP, Tauhid berharap pemerintah tidak melulu mengandalkan sumber daya alam (SDA). Kinerja positif pada sektor ini hanya bersifat sementara karena kebetulan harga komoditas sedang naik.

“Kita tahu, harga batu bara fluktuatif. PPh migas juga sangat tergantung pula terhadap ICP (Indonesian crude price),” tambahnya.

Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, pendapatan SDA minyak dan gas (migas) sepanjang tahun 2021 memang tumbuh mencapai 72,7 persen dari target yang telah ditetapkan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Sementara, pendapatan SDA nonmigas juga naik 72,2 persen. Kedua kinerja sektor itu dipengaruhi oleh kenaikan harga komoditas dan volume produksi batu bara, nikel, emas, perak, tembaga, dan timah.

Tauhid menekankan, pemerintah seharusnya lebih menitikberatkan pada upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan mencapai 5—5,5 persen di tahun 2022. Jika itu terwujud, maka otomatis target penerimaan negara pun tercapai.

“Kalau pertumbuhan ekonomi naik, maka penerimaan yang terkait juga ikut membaik. Misalnya, pajak penghasilan (PPh), terkait PPnBM (pajak penjualan atas barang mewah), PBB (pajak bumi dan bangunan), cukai, dan penerimaan perpajakan lainnya,” sebut Tauhid.

Di sisi lain, Tauhid menilai, pemerintah selalu menetapkan target yang tinggi untuk pertumbuhan ekonomi maupun penerimaan perpajakan. Hal itu yang menyebabkan realisasi tidak pernah tercapai. Di tahun 2022, target penerimaan perpajakan mencapai Rp 1.510 triliun.

“Kalau saya melihat apa yang disampaikan pemerintah, asumsi bisa saja tidak realistis, misalnya pertumbuhan ekonomi 5,5 persen itu sering kali meleset dari yang ditargetkan. Lifting minyak mentah yang ditargetkan 703, padahal kita tahun kinerja pemerintah di bawah 700. Termasuk nilai tukar misal tapering off berlaku, kemungkinan rupiah akan melemah. Semua harus dihitung,” kata Tauhid.

Pemerintah juga harus memitigasi potensi risiko susulan lainnya, seperti proyek infrastruktur yang didanai oleh pemerintah dari PMN (penyertaan modal negara). Ia mencatat, agenda keuangan infrastruktur 2021—2022 bakal meningkat tajam.

“Pada saat itu ada kapital struktur permodalan yang dikuatkan dan akan menggerus tingkat keuntungan dari BUMN (Badan Usaha Milik Negara). Risikonya laba yang disumbangkan akan semakin mengecil, maka secara otomatis pendapatan negara yang ditargetkan di tahun 2022 semakin menurun. Ini jadi sangat penting apalagi pada saat sekarang kita tidak mendapatkan surplus dari BI (Bank Indonesia),” kata Tauhid.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version