in ,

Multitarif PPN Bebankan Pengusaha, Ini Kata APINDO

Multitarif PPN Bebankan Pengusaha
FOTO: Aprilia Hariani

Multitarif PPN Bebankan Pengusaha, Ini Kata APINDO

Pajak.com, Jakarta – Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Ajib Hamdani mengkhawatirkan kebijakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) multitarif akan bebankan administrasi dan risiko perpajakan bagi pengusaha. Ia menilai, pengenaan PPN 11 persen, 12 persen dan kebijakan PPN 1 persen ditanggung pemerintah (DTP) memiliki kompleksitas administrasi perpajakan yang tinggi.

”PPN adalah sebuah jenis pajak tidak langsung. Artinya, walaupun pembebanan pajak dari seluruh masyarakat seluruh golongan, baik masyarakat miskin, menengah maupun atasnya. Tetapi yang melakukan pemungutan, administrasi, maupun pembayaran (penyetoran ke negara) adalah pengusaha. Tapi pemerintah mengeluarkan kebijakan yang complicated. Contoh, sebagian (barang/jasa) ada yang 11 persen tetap atas pajak secara umum, sebagian juga ada 1 persen DTP,” jelas Ajib kepada Pajak.comusai menjadi pemateri dalam Seminar Outlook Perpajakan 2025 yang diselenggarakan oleh Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Jakarta (20/12).   

Ia juga mengkhawatirkan kompleksitas kebijakan multitarif PPN tersebut juga menimbulkan risiko perpajakan kepada pengusaha. Kesalahan teknis administratif PPN bisa menjadi koreksi pemeriksaan pajak yang bermuara pada potensi sanksi atau denda.

”Bayangkan, pengusaha sudah membantu memungut dan membayarkan, tapi karena kesalahan teknis administrasi, potensi timbul denda bahkan faktur (pajak) tidak diakui menjadi sangat tinggi. Maka, saat ini pemerintah harus duduk bareng bersama pengusaha untuk mendesain secara teknis administrasi kebijakan-kebijakan, sehingga nanti bisa kondusif dan aplikatif di lapangan,” ujar Ajib.

Ia juga berpandangan bahwa kebijakan pengenaan PPN 12 persen sejatinya dikenakan terhadap semua barang kena pajak (BKP) dan jasa kena pajak (JKP). Hanya saja ada insentif PPN 1 persen DTP untuk barang/jasa, seperti tepung terigu, gula untuk industri, dan Minyak Kita. Artinya, barang/jasa itu memiliki tarif PPN 12 persen.

Baca Juga  Multitarif PPN Akan Diterapkan? Praktisi Pajak Soroti Potensi Kompleksitas Administrasi bagi PKP 

”Pemerintah awalnya membangun narasi PPN 12 persen untuk barang mewah, tapi pengumuman resmi ternyata kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen itu dikenakan untuk seluruh BKP dan JKP. Dampaknya, belum saja berlaku itu, indikator penurunan daya beli masyarakat sudah terlihat, deflasi selama 5 bulan berturut-turut, PMI (Purchasing Managers Index) manufaktur juga mengalami konstraksi di bawah 50,” ungkap Ajib.

Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia mengalami deflasi mulai Mei 2024 dengan angka 0,03 persen, lalu turun 0,08 persen (Juni), 0,18 persen (Juli), 0,03 persen (Agustus), dan 0,12 persen (September). Sementara, PMI manufaktur Indonesia juga mengalami kontraksi, yakni berada di level 49,2 pada September 2024.

Selain itu, survei internal APINDO menyatakan bahwa 4 dari 10 pengusaha di tahun 2024 mengalami stagnasi volume bisnis. Fakta tersebut, menurut Ajib, perlu menjadi perhatian pemerintah untuk mendesain kebijakan yang kondusif mendorong daya beli masyarakat.

”Pengusaha menghadapi double kill di tahun 2025, PPN naik menjadi 12 persen dan UMP (upah minimum provinsi) naik sebesar 6,5 persen. Sebuah kondisi yang tidak ideal bagi pengusaha memasuki tahun 2025,” pungkasnya.

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *