Misbakhun: PMK 131/2024 tentang PPN 12 Persen Jangan Timbulkan Kebingungan Dunia Usaha
Pajak.com, Jakarta – Ketua Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Mukhamad Misbakhun menilai adanya kompleksitas penerapan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 131 Tahun 2024. Regulasi ini menimbulkan kebingungan bagi dunia usaha dan tidak seirama dengan arahan Presiden Prabowo Subianto.
”Bapak Presiden Prabowo pada 31 Desember 2024 menyatakan bahwa penerapan kenaikan tarif PPN dari 11 persen menjadi 12 persen hanya dikenakan terhadap barang dan jasa mewah. Anehnya, perintah yang sudah jelas tersebut tidak bisa diterjemahkan dengan jelas oleh para birokrat di Kementerian Keuangan (Kemenkeu), khusunya Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Aturan pelaksanaannya di PMK sangat membingungkan dan menimbulkan kerancuan dalam penerapannya, ” ujar Misbakhun dalam keterangan tertulis yang diterima Pajak.com, (3/1).
Kompleksitas tersebut karena PMK Nomor 131 Tahun 2024 menggunakan dasar pengenaan dengan nilai lain 11/12. Menurutnya, hal itu ada penafsiran tunggal seakan-akan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) tidak bisa menerapkan tarif PPN dengan multitarif. Padahal sangat jelas bahwa UU HPP pasal 7 tidak ada larangan soal multitarif PPN, sehingga tidak ada larangan soal penerapan tarif PPN 11 persen dan PPN 12 persen diterapkan bersamaan sekaligus.
”Tarif PPN 11 persen untuk yang tidak naik dan tarif PPN 12 persen hanya untuk barang dan jasa mewah. Tetapi ketika PMK Nomor 131 Tahun 2024 membuat dasar perhitungan yang membingungkan dunia usaha dalam penerapan tarif PPN 11 persen yang tidak naik dengan menggunakan istilah dasar pengenaan lain. Maka, ini menimbulkan pertanyaan soal loyalitas birokrat di DJP, khusus dirjen pajak dalam menerjemahkan perintah Bapak Presiden Prabowo yang sudah jelas,” ujar Misbakhun.
Seperti diketahui, PMK Nomor 131 Tahun 2024 menyatakan bahwa atas barang/jasa yang bukan dalam kategori barang mewah dikenakan PPN dengan tarif 12 persen dikalikan dengan Dasar Pengenaan Pajak (DPP), di mana DPP adalah nilai lain, dalam hal ini 11/12 dari harga jual, penggantian, atau nilai impor. Sedangkan untuk masa transisi pada 1-31 Januari 2025, Pengenaan PPN barang mewah dikenakan tarif 12 persen dengan DPP yang sama dengan barang/jasa yang bukan barang mewah.
”Presiden Prabowo menghendaki tarif PPN yang berlaku adalah 11 persen dan bukan 12 persen untuk barang/jasa yang bukan barang mewah, tetapi dalam peraturan tersebut menyampaikan bahwa tarif PPN yang berlaku adalah 12 persen. Memang DPP atau faktor pengalinya menggunakan nilai lain sebesar 11/12 dari harga jual dengan hasil akhir nilai PPN yang dipungut tetap 11 persen atau PPN tidak mengalami kenaikan tarif,” ujar Misbakhun.
Selain itu, ia berpandangan, PMK Nomor 131 Tahun 2024 menimbulkan keresahan di masyarakat. Karena beberapa perusahaan retail telah memungut PPN 12 persen. Persiapan dan pembuatan keputusan yang sangat mepet dengan pelaksanaan perubahan tarif PPN tidak memberikan waktu kepada pengusaha untuk mempersiapkan perubahan di dalam sistemnya.
”Walaupun pada akhirnya PPN terutang dapat dihitung ulang menggunakan mekanisme pada SPT (Surat Pemberitahuan) Masa PPN, tetapi membuat masyarakat harus membayar lebih dari yang seharusnya,” kata Misbakhun.
Sudah seharusnya DJP membuat peraturan dengan bahasa yang lebih sederhana, tidak menimbulkan multitafsir, dan tetap menggunakan mekanisme penyusunan peraturan yang seharusnya.
”Karena apa yang dibuat soal aturan pelaksanaan teknis ini sudah tidak seirama dengan kemauan dan kehendak bapak presiden Prabowo karena punya tafsir subyektif soal pasal UU HPP yang sudah jelas yang berakibat menimbulkan pelaksanaan yang menimbulkan kegaduhan di kalangan dunia usaha,” ujar Misbakhun.
Comments