Menu
in ,

Menkeu: Pajak Karbon Akan Dilakukan Bertahap

Menkeu: Pajak Karbon akan dilakukan Bertahap dan Hati-hati

FOTO: IST

Pajak.comJakarta – Salah satu upaya mewujudkan komitmen pemerintah Indonesia mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dilakukan melalui pengenaan pajak karbon, yang diatur dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), namun Menteri Keuangan RI Sri Mulyani menegaskan, pajak karbon akan dilakukan secara sangat hati-hati dan bertahap sesuai dengan roadmap yang memerhatikan perkembangan pasar karbon, pencapaian Nationally Determined Contribution (NDC), kesiapan sektor, dan kondisi ekonomi.

“Kesiapan sektor-sektor yang akan terkena, terutama sektor-sektor yang sangat besar adalah sektor energi. Jadi konsepnya sudah masuk, tapi kita juga paham bahwa kita sedang dan terus menjaga perekonomian kita agar kembali pulih dan kuat,” jelas Sri Mulyani dalam konferensi pers UU HPP secara virtual, dikutip Jumat (8/10).

Selain itu, ia memastikan bahwa penerapan pajak karbon akan dilakukan secara sangat hati-hati dan bertahap sesuai dengan roadmap juga akan mengedepankan prinsip keadilan (just) dan keterjangkauan (affordable) dengan memerhatikan iklim berusaha, APBN, serta masyarakat kecil.

“Jadi jelas tujuannya bukan untuk makin membuat ekonomi kita terbebani dan menjadi lumpuh. Tapi kita tetap berjuang, kontribusi Indonesia untuk mengendalikan iklim berbasis pada asas just dan affordability,” ucapnya.  

Secara rinci, tarif pajak karbon akan dikenakan paling rendah Rp 30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e). Ini dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup.

“Dalam hal tarif harga karbon di pasar karbon lebih rendah dari Rp 30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara, tarif pajak karbon ditetapkan sebesar paling rendah Rp 30 per kilogram dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara,” bunyi Pasal 13 ayat (9) dalam UU itu.

Sementara subjek pajak karbon adalah orang pribadi atau badan yang membeli barang yang mengandung karbon dan/atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon. Bendahara negara ini juga menyebut, pengenaan pajak karbon akan diimplementasikan pertama kalinya pada 1 April 2022 di sektor Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara dengan skema cap and tax. 

Ia mengklaim, ini sejalan dengan implementasi pajak karbon yang sudah mulai berjalan di sektor PLTU batu bara.

“Skema ini yaitu menentukan berapa jumlah emisi karbon dioksidanya, dan kemudian mereka bisa melakukan trading dan taxing. Ini sudah dilakukan oleh PLN dan kita akan dukung seterusnya,” imbuhnya.

Namun sebelum itu, pemerintah akan memulainya dari pelaksanaan cap and trade sehingga pelaku usaha dapat tersosialisasi dengan baik, dan muncul aktivitas pasar karbon di Indonesia.

“Semisal PLTU diberikan cap atau batasan karbon dioksida yang mereka bisa keluarkan, dan apabila melebihi cap-nya, maka dia bisa membeli kredit karbon di tempat lain. Atau, kalau di bawah batas, dia bisa menjual alokasi karbonnya. Carbon market inilah yang akan kita coba,” ungkapnya.

Setelah itu, pemerintah baru memperkenalkan cap and tax dengan pengenaan pajak karbon pada 2022, agar semakin melengkapi skema pasar karbon ke depannya.  

“Semua ini tentunya akan kami bicarakan secara detail dengan dunia usaha, supaya Indonesia memiliki kesiapan dalam menjalankan policy ini tanpa mengurangi momentum pemulihan ekonomi dan energy security di Indonesia,” tandasnya.

Di kesempatan yang sama, Wakil Menkeu Suahasil Nazara menambahkan, pengenaan pajak karbon didasarkan pada pengakuan pelaku usaha bahwa karbon yang dikeluarkan memiliki nilai ekonomi. Selain itu, ia juga menyebut bahwa kebijakan ini memerlukan seperangkat infrastruktur, kelengkapan yang harus ada.

“Pada karbon ini, tentu harus ada registry-nya dulu, harus ada sistem MRV-nya dulu, dan tentu ini mesti kami siapkan. Beberapa sektor juga bisa mulai menyiapkan, Kementerian KLHK juga sudah mulai menyiapkan registry, MRV, dan seterusnya. Karena itu, dipastikan pajak karbon akan mengikuti roadmap green economy di Indonesia,” akhirnya.

Ia menambahkan, tarif paling rendah yakni Rp 30 per kilogram dioksida ekuivalen (CO2e) paling siap diaplikasikan lantaran Kementerian ESDM sudah mulai mendesain piloting perdagangan karbon di sektor pembangkit.

“Tentu nanti roadmap harus dibangun, dan keberadaan UU HPP yang memberi ruang untuk mengenakan pajak karbon akan kami gunakan untuk mendorong green economy agar bisa lebih cepat. Tidak secara serta-merta, tapi ini adalah suatu terobosan yang bersejarah untuk green economy di Indonesia” tutupnya.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version