Luhut Tersinggung Bank Dunia Samakan Cara Indonesia Kumpulkan Pajak Seburuk Nigeria
Pajak.com, Jakarta – Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan, menyampaikan kekecewaannya terhadap penilaian Bank Dunia yang menyebut kinerja Indonesia dalam mengumpulkan pajak setara dengan Nigeria. Luhut merasa penilaian tersebut menyinggung upaya pemerintah yang tengah bebenah memperbaiki sistem perpajakan.
“Pada waktu Bank Dunia datang ke kantor saya, dia memberikan presentasi. Dia mengatakan bahwa Indonesia adalah salah satu negara yang meng-collect pajaknya dengan buruk, bahkan disamakan dengan Nigeria,” jelas Luhut di acara IDN Times bertajuk Menavigasi Ekonomi Global, Strategi untuk 2025, dikutip Pajak.com pada Kamis (16/1/2025).
“Saat itu, saya merasa agak tersinggung. Saya bilang kepadanya bahwa saya sudah dua kali ke Nigeria,” tambah Luhut.
Ia menegaskan bahwa Indonesia sedang berupaya membangun government technology (GovTech) salah satunya yaini core tax untuk memperbaiki sistem perpajakan. GovTech sendiri bertujuan untuk mendigitalisasi dan menyederhanakan sistem perpajakan.
GovTech diharapkan mampu meningkatkan transparansi, efisiensi, dan akuntabilitas dalam proses pengumpulan pajak. Melalui penerapan teknologi, pemerintah berambisi mempermudah Wajib Pajak dalam memenuhi kewajibannya sekaligus meminimalisasi potensi kebocoran penerimaan negara.
Potensi Penerimaan Pajak Belum Optimal
Dalam pertemuan Dewan Ekonomi Nasional di Istana Merdeka, Jakarta, pada Rabu (8/1/2025), Wakil Ketua DEN Mari Elka Pangestu mengungkapkan hasil studi Bank Dunia yang menunjukkan adanya tax gap di Indonesia sebesar 6,4 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Angka ini mencerminkan potensi penerimaan pajak sekitar Rp1.500 triliun yang belum tergali secara maksimal.
Mari Elka menjelaskan bahwa tax gap tersebut terdiri dari dua faktor utama. Sebesar 3,7 persen disebabkan oleh rendahnya tingkat kepatuhan Wajib Pajak, sementara 2,7 persen berasal dari kebijakan perpajakan, termasuk insentif pajak dan kebijakan pajak yang ditanggung pemerintah.
“Yang paling penting adalah program digitalisasi karena itulah yang akan bisa memperbaiki administrasi pajak maupun mengurangi penghindaran pajak, dan meningkatkan kepatuhan, sebelum kita bicara mengenai perubahan-perubahan kebijakan,” ujar Mari Elka.
Sebagai respons terhadap tantangan tersebut, pemerintah memperkuat strategi digitalisasi perpajakan melalui penerapan program core tax. Program ini dirancang untuk meningkatkan efisiensi administrasi perpajakan sekaligus mendukung kepatuhan Wajib Pajak.
Mulai 1 Januari 2025, core tax memungkinkan Wajib Pajak untuk melakukan pendaftaran, pembayaran pajak secara elektronik, hingga pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) tahunan maupun bulanan, yang dimulai dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
“Core tax untuk memperbaiki collection pajak, data itu perlu juga dikaitkan dengan digital ID siapa itu pembayar pajaknya dan data-data lain yang bisa membantu profiling dari Wajib Pajak itu,” jelas Mari Elka.
Dalam pertemuan yang sama, Presiden Prabowo Subianto menyetujui pembentukan Komite Percepatan Transformasi Digital. Komite ini bertugas memastikan pelaksanaan tiga elemen penting reformasi perpajakan, yaitu identitas digital (digital ID), pembayaran digital (digital payment), dan pertukaran data (data exchange).
Langkah ini diharapkan dapat mendukung percepatan reformasi sistem perpajakan dan mengoptimalkan penerimaan negara melalui pemanfaatan teknologi yang lebih modern dan terintegrasi.
Comments