in ,

Kumpulkan Otoritas dan Profesional Antar-Negara, IFA Indonesia Navigasi Adopsi Kebijakan Perpajakan Global

Otoritas Profesional Antar-Negara
FOTO: Aprilia Hariani

Kumpulkan Otoritas dan Profesional Antar-Negara, IFA Indonesia Navigasi Adopsi Kebijakan Perpajakan Global

Pajak.com, Jakarta – International Fiscal Association (IFA) Indonesia mengumpulkan para otoritas, akademisi, dan profesional pajak antar-negara untuk mendiskusikan isu perpajakan internasional terkini dalam acara “The 12th IFA Indonesia Annual International Tax Seminar” di Financial Hall Graha CIMB Niaga, Jakarta, (10-11/12). Diskusi seminar yang didukung oleh Pajak.com ini diharapkan dapat menavigasi adopsi berbagai kebijakan perpajakan global.

IFA Indonesia Chairman (Ketua IFA Indonesia) Ichwan Sukardi menjelaskan, seminar ini merupakan kontribusi IFA Indonesia untuk mewadahi perspektif para pemangku kepentingan dalam merespons isu perpajakan internasional yang berfokus pada Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) melalui penerapan Pilar I dan Pilar II.

Ichwan mengingatkan kembali bahwa Pilar I berisi tentang usulan solusi yang berupaya menjamin hak pemajakan dan basis pajak yang lebih adil dalam konteks ekonomi digital. Sementara Pilar II adalah usulan agar perusahaan dengan pendapatan bersih di atas 750 juta euro harus membayar pajak minimal (pajak minimum global) sebesar 15 persen atas keuntungan perusahaan multinasional.

“Pada dasarnya IFA Internasional didirikan untuk memberikan penjelasan, mengedukasi masyarakat mengenai international tax. Kami mengundang semua expert dan profesional, otoritas perpajakan, akademisi. Mereka ada dari Jepang, Singapura, Belanda, maupun Indonesia untuk memberikan kontribusi pemikiran di sini,” ungkap Ichwan, (10/12).

Ia mengatakan, diskusi pada hari pertama seminar ini fokus mendiskusikan khusus penerapan Pilar II. Hal tersebut dipilih karena urgensi dari kebijakan pajak minimum global yang akan segera diadopsi oleh Indonesia. Untuk itu, IFA Indonesia mendorong terbitnya aturan teknis implementasi pajak minimum global sebagai turunan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan.

“Teknis pelaksanaan pajak minimum global ini penting, karena menyangkut hak pemajakan dan pembagiannya. Jadi, kami mendorong untuk segera diterbitkan oleh pemerintah. Karena jelas bahwa Indonesia harus ikut (menerapkan pajak minimum global). Karena meskipun kita belum menjadi anggota OECD, tapi kita bagian dari satu negara G20 dan Indonesia members of Inclusive Framework on BEPS, ungkap Ichwan.

Baca Juga  IFA Warnai Arsitektur Perpajakan Internasional

Ia menuturkan, adopsi pajak minimum global memiliki 3 skema, yaitu Income Inclusion Rule (IIR), merupakan ketentuan yang mengharuskan induk dari suatu grup multinasional entreprise (MNE) atau bagian dari grup MNE untuk membayar pajak tambahan (top-up) atas anak usahanya yang dikenakan pajak efektif kurang dari 15 persen.

Kedua, Undertaxed Payment Rule (UPTR), yaitu ketentuan yang berlaku dalam hal ketentuan IIR tidak dapat diterapkan karena parent entity berada di low-tax jurisdiction atau tidak menerapkan IIR dalam ketentuan domestiknya. Ketiga, qualified domestic minimum top-up tax (QDMTT), yakni yurisdiksi sumber dapat langsung mengenakan pajak atas penghasilan-penghasilan yang kurang dipajaki—sebelum yurisdiksi domisili mengenakan top-up tax terhadap penghasilan tersebut.

“Adopsi Pilar II ini memiliki 2 sisi, apabila ultimate parent entity-nya yang perusahaan Indonesia, dan kalau ultimate parent entity-nya perusahaan luar. Kalau yang perusahaan luar yang akan relevan, apakah mereka bayar pajak di Indonesia itu di bawah 15 persen? kalau mereka mendapatkan fasilitas tax holiday, bagaimana nanti pemajakannya—apakah di Indonesia tidak mengenakan pajak, apakah nanti skema IRR,” ujar Ichwan.

Seirama dengan itu, IFA Indonesia juga mendiskusikan informasi terkini adopsi Pilar I serta kebijakan perpajakan global lainnya, terkait general anti-avoidance rule, tax dispute, global mobility, dan transfer pricing yang berkaitan dengan implementasi Mutual Agreement Procedure (MAP) dan Advance Pricing Agreement (APA) di Indonesia.

Pada kesempatan yang sama, Direktur Perpajakan Internasional Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Mekar Satria Utama memastikan bahwa Indonesia tengah mengambil langkah menuju implementasi pajak minimum global. Infrastruktur regulasi telah dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dan PP Nomor 55 Tahun 2022.

“Saat ini, kami sedang dalam proses finalisasi regulasi implementasi untuk pajak minimum global dan proses ratifikasi terkait aturan subjek pajak. Kami sudah melihat implementasi Pilar II sudah diterapkan di 40 negara, dengan beberapa negara Asia, seperti Vietnam, Singapura, Thailand, Malaysia,” sebut Mekar.

Baca Juga  IFA Indonesia Akan Gelar Seminar Pajak Internasional, Apa Saja yang Dibahas? Ini Informasinya

Ia memerinci, Vietnam telah menerapkan IIR dan QDMTT (berlaku 2024); Singapura menerapkan IIR dan QDMTT (2025) dengan memberikan insentif QRTC (qualified refundable tax credit); Malaysia menerapkan IIR dan QDMTT (2025); serta Thailand menerapkan IIR, QDMTT, dan UTPR (2025) dengan perubahan tax holiday menjadi 50 persen dan maksimal 10 tahun.

“Indonesia telah menandatangani MLI STTR (Multilateral Instrument Subject to Tax Rule) pada 19 September 2024 lalu, menjadi salah satu penandatangan yang menunjukkan komitmen dalam menyesuaikan dengan lanskap global dan domestik yang berubah, termasuk penerapan pajak minimum global,” ujar Mekar.

Ia juga menyebutkan bahwa Indonesia telah mengadopsi 10 Rencana Aksi BEPS, diantaranya mengenai transfer pricing, MAP, permanent establishment status, dan harmful tax practices. 

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *