KPP Pratama Jakarta Pluit Ajak Pedagang Hingga Pemilik Katering Pelajari Pajak UMKM
Pajak.com, Jakarta – Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Jakarta Pluit menggelar acara Business Development Services (BDS), di Aula Kecamatan Penjaringan. Kegiatan yang diikuti oleh puluhan pedagang kelontongan, pedagang kue, hingga pemilik jasa katering ini diajak untuk mempelajari aspek pemajakan bagi usaha mikro kecil menengah (UMKM).
Kepala KPP Pratama Jakarta Pluit Ahmad Tirto Nugroho menegaskan bahwa kewajiban pembayaran Pajak Penghasilan (PPh) final 0,5 persen tidak dikenakan bagi UMKM yang memiliki omzet kurang dari Rp 500 juta per tahun. Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2018 yang dipertegas kembali melalui PP Nomor 55 Tahun 2022—sebagai turunan dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
“Jika sudah lebih (dari omzet Rp 500 juta per tahun), tentu saja sudah ada kewajiban sesuai dengan tarif yang diberlakukan,” ujar Ahmad dalam keterangan tertulis yang diterima Pajak.com, (17/9).
Acara yang diselenggarakan bersama Jakpreneur Kecamatan Penjaringan ini diisi dengan penyampaian materi pajak UMKM oleh Tim Penyuluh Pajak KPP Pratama Jakarta Pluit Sri Mulyani dan Fauzi Korniawan.
Tim Penyuluh Pajak menekankan bahwa UMKM harus mendaftarkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) tahunan. Dengan begitu, pelaku UMKM beromzet di bawah Rp 500 juta bisa memanfaatkan pembebasan PPh final 0,5 persen.
Sebagai informasi, Wajib Pajak orang pribadi UMKM hanya bisa memanfaatkan tarif PPh final 0,5 persen sampai dengan 7 tahun. Tarif tersebut berlaku 4 tahun bagi koperasi, commanditaire vennootscha (CV), dan firma. Sementara, bagi perseroan terbatas (PT) dapat dimanfaatkan selama 3 tahun.
Pada kesempatan berbeda, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan, pemerintah masih mengevaluasi kebijakan insentif PPh final 0,5 persen untuk UMKM yang akan berakhir pada 2024 dalam rangka menciptakan keadilan.
“Pengenaan pajak berdasarkan omzet tidak mencerminkan 100 persen keadilan. Karena harusnya yang dipajaki itu adalah net profit-nya, tapi karena UMKM pembukuannya tidak cukup baik atau tidak mau terlalu rumit, lebih mudah menghitungnya berdasarkan omzet. Padahal, bisa saja omzetnya Rp 600 juta, tapi setengah miliar (Rp 500 juta) cost-nya, sehingga dia hanya mendekati atau impas, bahkan rugi, tapi harus tetap bayar pajak,” jelas Sri Mulyani dalam Rapat Kerja Komite IV Dewan Perwakilan Daerah (DPD) bersama Menteri Keuangan, Bank Indonesia, dan Bappenas, pada awal September 2024 lalu.
Comments