Kepatuhan Bayar Pajak di Indonesia Masih Rendah, DEN: Sulit Jadi Negara Modern!
Pajak.com, Jakarta – Anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Arief Anshory Jusuf menyoroti minimnya partisipasi masyarakat dan perusahaan dalam memenuhi kewajiban perpajakan di Indonesia. Menurutnya, hal tersebut menjadi salah satu tantangan besar bagi negara dalam mencapai status sebagai negara modern.
“Bagaimana kita mau jadi negara modern, kalau hanya 7-8 juta orang bayar pajak dari 300 juta. Bagaimana kita mau jadi negara modern, kalau hanya 0,5 persen perusahaan bayar pajak? Gak mungkin kita jadi negara modern,” tegas Arief dalam konferensi pers, dikutip Pajak.com pada Jumat (10/1/2025).
Lebih lanjut, Arief menjelaskan konsep Wagner’s Law, yang menyatakan bahwa semakin modern suatu negara, maka peran negara akan semakin dominan di berbagai aspek kehidupan masyarakat. Hal ini ditandai dengan meningkatnya belanja negara yang harus diimbangi dengan penerimaan negara yang tinggi.
“Semakin modern suatu negara, negara semakin hadir. Semakin besar spending negara dalam Gross Domestic Product-nya (GDP). Jadi, kalau kita mau jadi negara maju, negara harus lebih hadir. Masalahnya, kita itu sering bicaranya menuntut saja negara hadir. Negara hadir itu tidak serta-merta. Kita semua sama-sama menghadirkannya,” jelas Arief.
Rendahnya tingkat kepatuhan pajak ini menjadi tantangan besar bagi pemerintah dalam mengoptimalkan penerimaan negara untuk mendukung berbagai program pembangunan. Tanpa partisipasi aktif dari masyarakat dan dunia usaha dalam membayar pajak, cita-cita Indonesia menjadi negara modern akan sulit terwujud.
Penunggak Pajak Bakal Sulit Urus Paspor hingga Administrasi Lainnya
Dalam kesempatan yang sama, Ketua DEN Luhut Binsar Pandjaitan mengungkapkan bahwa pemerintah sedang memperkuat sistem perpajakan dengan teknologi canggih. Menurutnya, penunggak pajak akan menghadapi kendala dalam pengurusan paspor hingga administrasi lainnya.
Sistem tersebut adalah Government Technology (GovTech), yang akan diluncurkan pemerintah pada 17 Agustus 2025 mendatang. Sistem ini bertujuan untuk memperkuat penerimaan pajak dan meningkatkan transparansi di seluruh sektor administrasi pemerintahan.
Salah satu fitur utamanya adalah integrasi data digital untuk berbagai layanan, termasuk sistem pajak seperti core tax, perizinan usaha, belanja negara, dan pelayanan publik seperti paspor, Kartu Tanda Penduduk (KTP) digital, hingga Surat Izin Mengemudi (SIM).
Menurut Luhut, sistem ini akan memaksa seluruh masyarakat untuk patuh terhadap aturan, termasuk kewajiban membayar pajak. “Kita paksa orang patuhi ketentuan sudah bayar pajak belum? Sudah bayar royalti belum? Itu dengan sistem,” ujar Luhut.
Adapun GovTech menggunakan teknologi blockchain dan Artificial Intelligence (AI) untuk mendeteksi pelanggaran, termasuk Wajib Pajak yang melaporkan data tidak akurat atau jumlah aset yang tidak sesuai. Dengan teknologi ini, siapa saja yang menunggak pajak akan kesulitan mengakses berbagai layanan administratif.
“Kamu ngurus pasport-mu, nggak bisa, karena kamu belum bayar pajak,” tegas Luhut. Bahkan, untuk memperbarui izin usaha pun akan terkendala jika seseorang tidak memenuhi kewajiban pajaknya.
Sistem ini tidak hanya menyasar masyarakat umum, tetapi juga pejabat publik. “Kalau misalnya saya mantan pejabat, saya menyembunyikan sesuatu, pasti akan ketahuan. Entah dulu dia paling berkuasa, nggak ada urusan,” kata Luhut.
Comments