Menu
in ,

Kementerian ESDM Uji Coba Skema Pajak Karbon PLTU

Kementerian ESDM Uji Coba Skema Pajak Karbon untuk PLTU

FOTO: IST

Pajak.com, Jakarta – Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP) telah menetapkan pengenaan pajak karbon sebesar Rp 30 per kilo gram (kg) karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara mulai 1 April 2022. Salah satu yang akan dikenakan pajak karbon adalah pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batu bara, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pun melakukan uji coba skema penerapan aturan pajak karbon.

Direktur Jenderal Ketenagalistrikan ESDM Rida Mulyana mengatakan, sebanyak 32 PLTU sudah melakukan uji coba penerapan skema pajak karbon. Dalam uji coba ini PLTU dikelompokkan ke dalam tiga grup yang dibedakan oleh teknologi dan sifat. Ada yang bersifat PLTU mulut tambang dan non-mulut tambang. Mulut tambang merupakan istilah dalam dunia pertambangan, yakni tempat terdekat (titik keluarnya produksi) batu bara dari permukaan tambang.

“Masing-masing kelompok kita kasih cap, artinya besaran emisi yang diperbolehkan untuk pembangkit itu,” jelas Rida dalam konferensi pers virtual. Setelah itu, kementerian ESDM memberikan dua skema perdagangan karbon.

Pertama, cap and trade, yakni skema pembatasan emisi karbon dan perdagangan sertifikat izin emisi. “Maksudnya, entitas yang mengeluarkan emisi lebih tinggi dari cap (batasan emisi yang ditentukan), maka diharuskan membeli sertifikat izin emisi (SIE) dari entitas yang mengeluarkan emisi di bawah cap. Bisa juga dengan membeli sertifikat penurunan emisi (SPE/carbon offset),” jelas Rida.

Kedua, yaitu cap and tax atau pembatasan dan pengenaan pajak jika emisi yang dikeluarkan melebihi batasan yang ditentukan. “Artinya entitas itu tidak dapat membeli SIE atau SPE atas emisi di atas batas.

Maka jika ada sisa emisi yang masih melebihi batas akan dikenakan pajak karbon. Misal PT A punya emisi di atas cap, lalu diberi SIE/SPE dari PT C yang emisinya masih di bawah cap, tapi SIE/SPE dari PT C ini masih enggak bisa penuhi semua kelebihan emisi PT A sesuai cap. Dia (PT A) enggak bisa beli dari PLTU lain, maka kena objek pajak Rp 30 per kg,” urainya.

Rida mengatakan, uji coba penerapan pajak karbon ini sifatnya masih sukarela. Namun, pihaknya akan terus berupaya membangun kesadaran seluruh pihak untuk menurunkan emisi dan mendorong pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT).

“Dengan kesadaran yang meningkat, maka terdorong juga memanfaatkan co-firing dan teknologi lainnya. Ada teknologi CCS (carbon capture and storage). Sepanjang batu bara dipakai dan bisa di-capture dengan teknologi CCS, ya enggak masalah, apalagi bisa disimpan secara aman, tapi kita tahu teknologi ini masih mahal saat ini,” ujarnya.

Sebelumnya, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Febrio Kacaribu menjelaskan, dipilihnya PLTU batu bara sebagai sasaran pertama dalam pengenaan pajak karbon karena untuk mengejar target kewajiban Indonesia dalam nationally determined contribution (NDC) yang telah teruang dalam Paris Agreement. Sedikit mengulas, Paris Agreement adalah sebuah kesepakatan dalam konvensi kerangka kerja perubahan iklim yang diinisiasi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Persetujuan itu ditetapkan di Paris pada tahun 2015.

Dalam Paris Agreement, Indonesia berkewajiban untuk melakukan pengurangan emisi gas rumah kaca secara mandiri sebesar 29 persen paling lambat pada 2030 atau sebesar 41 persen jika dengan dukungan internasional.

“Nah, itu kita (Indonesia) bersama-sama di Paris Agreement dengan banyak negara waktu itu memberikan pledge bahwa kita  akan menurunkan emisi gas rumah kaca pada 2030 dan itu kita lakukan mulai dari sekarang,” kata Febrio.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version