in ,

Insentif Pajak jadi Stimulus Ekonomi atau Risiko Penerimaan Negara? Ini Kata Para Ahli

Insentif Pajak jadi Ekonomi
FOTO: IST

Insentif Pajak jadi Stimulus Ekonomi atau Risiko Penerimaan Negara? Ini Kata Para Ahli

Pajak.com, Jakarta – Pemberian insentif pajak masih menjadi perdebatan menarik, terutama ketika dikaitkan dengan dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan penerimaan negara. Namun, di balik kemudahan yang diterima Wajib Pajak, muncul pertanyaan apakah insentif benar-benar efektif mendorong pertumbuhan atau justru melemahkan penerimaan negara?

Dalam forum Annual Conference of Taxation (ACT) Seminar Nasional 2025 yang digelar oleh Program Studi D3 Perpajakan Sekolah Vokasi Universitas Sebelas Maret (UNS), tiga narasumber memaparkan pandangan dari berbagai sudut, mulai dari otoritas pajak, lembaga riset kebijakan fiskal, hingga konsultan perpajakan.

Kepala Bidang Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Kantor Wilayah (Kanwil) Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jawa Tengah II Herlin Sulismiyarti menjelaskan bahwa insentif pada dasarnya merupakan pengurangan atau penghapusan kewajiban pajak berdasarkan ketentuan yang berbeda dari aturan umum.

“Dan jelas kan kalau pengumpulannya saja berkurang, pasti ada efeknya,” tegas Herlin, dikutip Pajak.com pada Senin (23/6/25).

Baca Juga  Persiapan Lapor SPT Tahunan 2026, Kanwil DJP Jakbar Imbau Wajib Pajak Segera Registrasi Kode KO/SD di Coretax

Namun, menurutnya tujuan dari insentif tidak semata untuk mengurangi beban, melainkan menciptakan dampak ekonomi lebih luas. Ia mencontohkan pemberian insentif bagi industri pionir seperti penyediaan infrastruktur transportasi dan sarana publik, yang dalam jangka pendek memang menurunkan penerimaan negara, tetapi dalam jangka panjang justru mendorong penciptaan lapangan kerja, pertumbuhan ekonomi, hingga peningkatan pendapatan dari sektor-sektor lain.

“Ada tenaga kerja yang bisa diserap, kemudian ada honor, ada insentif gaji bagi pekerja tersebut, kemudian sarana-prasarana bisa dengan otomatis akan ada. Jadi memang di sisi penerimaan akan terjadi pengurangan, tapi hal itu untuk jangka pendek. Jangka panjangnya akan ada lagi penerimaan yang dihasilkan dari pertumbuhan ekonomi itu,” jelasnya.

Sementara itu, Manager DDTC Fiscal Research & Advisory Denny Vissaro mengingatkan bahwa insentif fiskal harus dijalankan dengan prinsip efisiensi dan selektif. “Sistem pajak kita sendiri sebenarnya sudah memberikan banyak keringanan secara desain,” katanya.

Ia menyebut Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) Indonesia sebagai salah satu yang tertinggi di dunia, dan adanya batasan omzet hingga Rp4,8 miliar per tahun yang tidak wajib memungut PPN sebagai contoh insentif implisit yang sudah sangat menguntungkan masyarakat.

Baca Juga  Bea Cukai Atur Ketat Kapal Wisata Asing Masuk Indonesia, Ini Syarat dan Ketentuan Lengkapnya

“Itu juga sudah jadi sesuatu yang generous buat masyarakat, dan tujuannya apa? Ya tadi mendorong daya saing tapi langsung ke masyarakatnya,” jelas Denny.

Menurut Denny, sebelum memberikan insentif tambahan, perlu dilakukan tiga evaluasi utama yaitu apakah sektor yang dituju memang butuh insentif atau bisa tumbuh secara alami, apakah insentif fiskal merupakan satu-satunya cara, atau ada alternatif nonpajak seperti kemudahan administrasi dan dukungan infrastruktur, serta apakah insentif tersebut akan membawa dampak penerimaan dalam jangka panjang dari jenis pajak lain.

“Sehingga akhirnya itu jadi investasi juga bagi kita, supaya akhirnya ujung-ujungnya ini analisis secara biaya dan manfaatnya itu benar-benar bisa efektif. Nah itulah mungkin prinsip untuk menjaga keseimbangan antara mengorbankan pendapatan dan juga mendapatkan tujuan dari insentif itu sendiri,” jelasnya.

Baca Juga  Lelang Barang Penunggak Pajak, Kanwil DJP Jaksel I Pulihkan Penerimaan Negara Rp1,3 Miliar 

Dari sisi Wajib Pajak, Senior Tax Consultant Adista Cintya Syachnanta menyampaikan bahwa insentif dipersepsikan sebagai bentuk kemudahan yang sangat dinantikan. Ia menggambarkan bagaimana para pelaku usaha begitu antusias memanfaatkan insentif seperti PPN dan PPh 21 di daerah Solo.

“Kalau sudah dengar ada insentif, itu sudah senangnya enggak karuan,” ujarnya. Namun, ia menekankan bahwa efektivitas insentif sangat bergantung pada edukasi. Banyak insentif dan kemudahan sebenarnya sudah tersedia, tapi belum tersampaikan dengan baik ke Wajib Pajak.

“Karena apa? Karena dari sistem DJP-nya pun sudah tertata rapi, secara aturan ketentuan juga sudah ada, tinggal bagaimana kita menyalurkan dari yang peraturan dengan bahasa undang-undang gitu ya, kita sampaikan ke Wajib Pajak dengan bahasa yang lebih mudah dipahami gitu sih,” jelasnya.

Adista menyimpulkan bahwa menjaga keseimbangan antara insentif dan penerimaan negara bukan hanya soal hitung-hitungan fiskal, tetapi juga komunikasi, edukasi, dan pemahaman terhadap konteks masing-masing sektor usaha.

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *