Menu
in ,

Hipmi: Daripada Naikkan PPN, Fokus “Shadow Economy”

Pajak.com, Jakarta – Pemerintah telah memasukkan rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) ke dalam Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan RUU KUP. Meski demikian, RUU yang ditetapkan sebagai program legislasi nasional pada Maret lalu itu hingga kini belum diserahkan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Wakil Ketua Komisi Keuangan DPR Fathan Subchi mengatakan, kemungkinan besar draf RUU KUP akan baru diterima legislatif setelah Lebaran.

Kami akan kebut pembahasannya setelah Lebaran,” katanya saat dihubungi, Minggu (9/5/2021).

Fathan mengatakan, legislatif baru akan kembali reses pada bulan Juli. Waktu yang luang itu akan digunakan untuk mengejar target pembahasan RUU KUP agar selesai tahun ini.

“RUU KUP kan semangatnya agar ruang gerak ekonomi kita bisa lebih fleksibel, elastis, dan juga menopang target-target pembangunan Presiden, rencana pembangunan jangka menengah, dan kualitas kehidupan rakyat yang baik,” jelasnya.

Dalam kenaikan PPN, pemerintah rencananya akan menggunakan skema multitarif. Ke depan rencananya akan ada produk barang dan jasa yang besaran pungutannya naik dan ada pula yang turun. Namun, produknya masih dalam pembahasan. Mengacu pada UU No. 42/2009 tentang Perubahan Ketiga Atas UU No. 8.1983 tentang PPN Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, pemerintah bisa mengubah besaran pungutan.

UU tersebut mengatur perubahan tarif paling rendah berada pada angka 5 persen dan paling tinggi 15 persen. Saat ini, tarif PPN berlaku untuk semua produk dan jasa, yakni 10 persen.

Menanggapi isu kenaikan PPN itu, Ketua Bidang Keuangan dan Perbankan BPP HIPMI Ajib Hamdani menilai, opsi kebijakan ini cenderung pragmatis dan mengabaikan kondisi pemulihan ekonomi yang belum normal. Indikator yang cukup jelas, menurut Ajib adalah pertumbuhan ekonomi di kuartal 1 2021 masih terkontraksi di kisaran -0,74 persen.

Ajib mengakui, mengacu pada UU PPN Pasal 7, bahwa tarif PPN adalah sebesar 10 persen. Namun, pemerintah bisa membuat kebijakan untuk menaikkan tarif sampai dengan 15 persen. Artinya, tanpa proses persetujuan DPR, pemerintah bisa dengan serta merta menaikkan tarif PPN ini.

“Dari sisi legal dan payung hukum, pemerintah bisa melakukan penyesuaian tarif ini. Tapi, pertanyaan selanjutnya adalah, apakah kebijakan pemerintah ini tepat dalam masa pandemi seperti ini?” kata Ajib kepada Pajak.com Minggu, (9/5/2021).

Di sisi lain, menurut Ajib, pemerintah sudah memprediksi bahwa ekonomi masih membutuhkan waktu untuk pemulihan secara normal setelah tahun 2022 mendatang. Hal itu tecermin dari disetujuinya Perpu Nomor 1 tahun 2020 yang disahkan menjadi UU nomor 2 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Menangani Pandemi Covid-19.

Ajib menyebut, data penerimaan pajak tahun 2020, PPN dalam negeri memberikan kontribusi pemasukan sebesar Rp 298,4 triliun, dan PPN Impor sebesar Rp 140,14 triliun. Total PPN sejumlah Rp 439,14 triliun ini setara dengan 36,63 persen penerimaan pajak. Sementara data Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada tahun 2020 sebesar  Rp 15.434,2 triliun. Perputaran ekonomi yang masuk 15 besar dunia.

Karena itu, Ajib menyarankan, pemerintah seharusnya lebih fokus dengan pembuatan database yang valid dan terintegrasi, sehingga orientasinya adalah untuk ekstensifikasi dan mengurangi shadow economy.

“Upaya ini akan lebih mendorong kenaikan pemasukan buat negara, menjaga sustainability penerimaan dan memberikan keadilan buat masyarakat. Fungsi pajak akan secara optimal, selain sebagai budgeteir, pengumpul uang buat negara, juga sebagai regulerend, pengatur ekonomi dan sebagai redistribusi pendapatan yang berkeadilan,” ujar Ajib.

Dengan penguatan database yang valid dan terintegrasi, menurut Ajib lebih berorientasi jangka panjang dibandingkan dengan sekadar opsi menaikkan tarif PPN, yang cenderung memberikan beban berlebih kepada masyarakat. Ia mengatakan, opsi kenaikan PPN, adalah opsi kebijakan yang cenderung kontraproduktif dan tidak pro dengan masyarakat luas di masa pandemi ekonomi yang belum selesai.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version