Menu
in ,

Harta Bersih Diungkap dalam PPS Capai Rp 91,60 T

Harta Bersih Diungkap dalam PPS

FOTO: IST

Pajak.com, Jakarta – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, pengungkapan harta bersih Wajib Pajak dalam Program Pengungkapan Sukarela (PPS) senilai Rp 91,60 triliun hingga 20 Mei 2022. Harta bersih itu meliputi deklarasi harta dalam negeri dan repatriasi Rp 79,21 triliun, deklarasi harta luar negeri Rp 6,99 triliun, dan investasi dalam bentuk Surat Berharga Negara (SBN) senilai Rp 5,4 triliun. Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengimbau kepada Wajib Pajak untuk memanfaatkan PPS sampai 30 Juni 2022. Sebab Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah memiliki data dan informasi keuangan Wajib Pajak.

Kemenkeu juga mencatat, pengungkapan harta bersih sebesar Rp 91,60 triliun, menghasilkan penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) mencapai Rp 9,25 triliun.

“Sudah ada 46.676 Wajib Pajak yang ikut dalam program ini dan kami sudah mengeluarkan surat keterangan sebanyak 54.081. Realisasi harta bersih dan jumlah PPh mulai melandai akibat persiapan Lebaran. Namun angkanya diharapkan kembali meningkat pada bulan Mei dan Juni seiring dengan batas waktu PPS yang akan berakhir,” kata Sri Mulyani dalam Konferensi Pers APBN KiTa (Kinerja dan Fakta), yang disiarkan secara virtual, (23/5).

Ia memerinci, peserta PPS mayoritas berasal dari Wajib Pajak orang pribadi dengan harta Rp 10 miliar ke bawah, yakni sebanyak 28.596 orang. Sementara itu, hanya terdapat 17.624 Wajib Pajak dengan harta di atas Rp 10 miliar.

“Dilihat dari sektornya, mayoritas peserta PPS orang pribadi merupakan pegawai, 45 persen. Disusul oleh perdagangan besar dan eceran sebesar 34,1 persen, serta jasa perorangan lainnya 8,8 persen. Ini tiga sektor yang paling dominan mengikuti PPS,” sebut Sri Mulyani.

Kemudian, peserta PPS orang pribadi terbesar selanjutnya berasal dari sektor lainnya sebesar 7 persen, industri pengolahan 3,3 persen, dan jasa profesional 1,8 persen. Adapun harta bersih yang diinvestasikan Wajib Pajak dalam PPS berupa SBN yang terdiri dari Surat Utang Negara (SUN) senilai Rp 397,51 miliar dan 5,98 juta dollar AS, serta Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) Rp 25,66 miliar.

Dalam kesempatan yang sama, Dirjen Pajak Suryo Utomo memastikan, optimalisasi PPS akan terus dilakukan. Analisis data telah dilakukan terhadap data internal dan eksternal. Hasil analisis data, yaitu berupa daftar Wajib Pajak yang berpotensi untuk mengikuti PPS.

Secara teknis, Kantor Pusat DJP mengirimkan analisis data ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) untuk disampaikan himbauan kepada Wajib Pajak.

“Kami telah menyampaikan imbauan berupa surat yang kami kirimkan berdasarkan data dan informasi yang selama ini kami kumpulkan. Kami mendapatkan data dan informasi dari data rekening keuangan Wajib Pajak, kemudian data aset yang dimiliki Wajib Pajak. Itu yang kami jadikan dasar untuk mengingatkan,” kata Suryo.

Seperti diketahui, DJP dapat mengakses data dan mendapatkan informasi perbankan secara otomatis, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan. Aturan teknis tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 19 Tahun 2018 sebagai Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70 Tahun 2017 tentang Petunjuk Teknis Mengenai Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan. Selain lembaga perbankan, DJP juga mempunyai akses data terhadap lembaga asuransi, pasar modal, dan lembaga keuangan lainnya. lainnya. Di dalamnya meliputi rekening keuangan di bank, asuransi, saham, surat berharga, termasuk bagi perusahaan efek dan aset-aset keuangan lainnya.

Selain itu, berkat UU Nomor 9 Tahun 2017, Indonesia juga bisa menerima informasi terkait perpajakan dari otoritas pajak di pelbagai negara melalui mekanisme Automatic Exchange Of Information (AEOI). Dengan demikian, Wajib Pajak yang membuka rekening di negara lain akan bisa terlacak secara langsung oleh otoritas pajak negara asalnya.

Kembali mengingatkan, berapa tarif PPS? Tarif PPS terbagi menjadi dua kebijakan, yaitu:


Kebijakan I
– 11 persen untuk deklarasi luar negeri.
– 8 persen untuk aset luar negeri repatriasi dan aset dalam negeri.
– 6 persen untuk aset luar negeri repatriasi dan aset dalam negeri, yang diinvestasikan dalam SBN/kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam (hilirisasi)/sektor energi terbarukan (renewable energy) di wilayah Indonesia.

Kebijakan II
– 18 persen untuk deklarasi luar negeri.
– 14 persen untuk aset luar negeri repatriasi dan aset dalam negeri.
– 12 persen untuk aset Luar Negeri repatriasi dan aset Dalam Negeri, yang diinvestasikan dalam SBN/kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam (hilirisasi)/sektor energi terbarukan di Indonesia.

Lantas, apa saja kriteria atau syarat dua kebijakan itu?


Kebijakan I

Wajib Pajak dapat mengungkapkan harta bersih yang belum atau kurang diungkapkan dalam surat pernyataan sepanjang Direktur Jenderal Pajak belum menemukan data dan/atau informasi mengenai harta dimaksud. Harta sebagaimana dimaksud merupakan harta yang diperoleh Wajib Pajak sejak tanggal 1 Januari 1985 sampai dengan tanggal 31 Desember 2015.

Kebijakan II

Wajib Pajak orang pribadi yang mengungkapkan harta bersih atas perolehan aset sejak tanggal 1 Januari 2016 sampai dengan tanggal 31 Desember 2020 dapat menyampaikan surat pemberitahuan pengungkapan harta dengan memenuhi persyaratan sebagai berikut:

1. Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
2. Membayar PPh yang bersifat final atas pengungkapan harta bersih.
3. Menyampaikan SPT tahunan PPh tahun pajak 2020.
4. Mencabut permohonan, pengembalian kelebihan pembayaran pajak; pengurangan atau penghapusan sanksi administratif; pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar; pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak (STP) yang tidak benar; keberatan; pembetulan; banding; gugatan; dan/atau peninjauan kembali, dalam hal Wajib Pajak sedang mengajukan permohonan tersebut dan belum diterbitkan surat keputusan atau putusan.
6. Wajib Pajak Orang Pribadi yang mengungkapkan harta bersih atas perolehan aset sejak tanggal 1 Januari 2016 sampai dengan tanggal 31 Desember 2020 harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: Tidak sedang dilakukan pemeriksaan untuk tahun pajak 2016 sampai dengan 2020, tidak sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan untuk 2016 hingga 2020. tidak sedang dilakukan penyidikan atas tindak pidana di bidang perpajakan, tidak sedang berada dalam proses peradilan atas tindak pidana di bidang perpajakan, dan tidak sedang menjalani hukuman pidana atas tindak pidana di bidang perpajakan

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version