Eks Dirjen Pajak Ingatkan Pendirian Badan Penerimaan Negara Jangan Sekadar “Rebranding”, Tanpa Reformasi Fiskal
Pajak.com, Jakarta – Gagasan Presiden Prabowo untuk membentuk Badan Penerimaan Negara (BPN) dibahas oleh Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) dalam Diskusi Panel Nasional bertajuk Masa Depan Fiskal Indonesia: Apakah BPN Solusinya? yang diselenggarakan di Kantor IKPI, Pejaten, Jakarta (30/5/25). Salah satu pemateri, Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak periode 2000–2001 Machfud Sidik, mengingatkan agar pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN) tidak sekadar menjadi ajang rebranding tanpa disertai reformasi fiskal yang nyata sebagai solusi untuk mengatasi kompleksitas tantangan penerimaan negara.
“Saya ingin memberikan insight yang objektif. Jangan sampai BPN ini hanya sekadar rebranding, tapi tidak menjawab masalah mendasarnya,” tegas Machfud, dikutip Pajak.com, (2/6/25).
Ia menekankan, persoalan penerimaan negara lebih kompleks dari sekadar institusi. Machfud menganalisis, kompleksitas dimulai dengan struktur ekonomi Indonesia yang masih bergantung pada konsumsi domestik dan kontribusi net ekspor yang minim, yaitu sekitar 3 persen dari produk domestik bruto (PDB). Menurutnya, kondisi ini merupakan hambatan utama bagi penerimaan negara. Sebagai perbandingan, Singapura mencatatkan ekspor hingga 90 persen dari PDB. Untuk itu, diperlukan kebijakan untuk memperbaiki struktur ekonomi nasional.
Ia juga menyoroti rendahnya rasio pajak Indonesia yang stagnan di bawah 10 persen. Bahkan jika digabung dengan pajak daerah, totalnya hanya sekitar 10,3 persen—jauh dari standar negara-negara OECD yang umumnya berada di atas 15 persen.
Tak kalah penting, Machfud pun menelaah kebijakan tax expenditure atau insentif pajak pemerintah yang menurutnya sudah membengkak hingga 20 persen dari total penerimaan negara.
“Ini harus kita audit secara objektif. Jangan sampai insentif pajak justru jadi alat untuk melayani tekanan oligarki,” tegas Senior Advisor TaxPrime ini.
Dengan demikian, Machfud mengingatkan bahwa pembentukan semi-autonomous revenue authority (SARA) atau BPN harus menjadi solusi institusional yang mampu melakukan reformasi fiskal. Menurutnya, desain kelembagaan harus mempertimbangkan konteks Indonesia baik dari sisi politik, teknokrasi, maupun tata kelola.
“Jangan terlalu dikultuskan [pembentukan BPN]. Banyak negara gagal karena tidak ada political will yang memadai,” ujarnya mengutip ekonom dunia, seperti Joseph Stiglitz dan Richard Bird.
Catatan Penting Pendirian Badan Penerimaan Negara
Di sisi lain, ia juga memberikan sejumlah catatan penting terkait dukungan bersyarat terhadap pembentukan BPN. Pertama, pembentukan BPN memenuhi syarat adanya independensi dan akuntabilitas yang kuat. Kedua, audit menyeluruh terhadap tax expenditure, agar tidak menjadi alat elite tertentu.
“[Ketiga], prioritaskan digitalisasi, seperti Coretax, sebelum mengganti lembaga. [Keempat], fokus pada kualitas belanja negara, terutama di wilayah timur Indonesia, bukan semata mengejar angka penerimaan,” urai Machfud.
Comments