Menu
in ,

DPR Libatkan “Stakeholder” dalam Pembahasan RUU KUP

DPR Libatkan “Stakeholder” dalam Pembahasan RUU KUP PPh PPN

FOTO: IST

Pajak.com, Jakarta – Pemerintah telah menyampaikan lima cakupan revisi Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang meliputi perubahan materi, UU pajak penghasilan (PPh), UU pajak pertambahan nilai (PPN), UU cukai, dan pengenaan pajak karbon. Anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Andreas Eddy Susetyo memastikan akan melibatkan stakeholder (pemangku kepentingan) untuk membahas semua usulan itu. DPR mendukung segala upaya pemerintah dalam melanjutkan reformasi perpajakan dengan mempertimbangkan kondisi pandemi Covid-19.

“Seperti pembahasan Undang-Udang Cipta Kerja waktu itu, kita akan memanggil semua pihak, sebagai narasumber untuk kita minta pandangannya. Ada yang dari akademisi, praktisi, asosiasi, buruh, seluruh organisasi yang bergerak di bidang pendidikan, kesehatan—NU (Nahdlatul Ulama), Muhamadiyah. Mantan dirjen pajak juga kita undang. Kan, DPR itu mendengarkan masyarakat. Rapat dengar pendapat juga terbuka (virtual), bisa diikuti oleh seluruh masyarakat,” jelas Andreas, kepada Pajak.commelalui telepon, pada (30/6).

Nantinya, seluruh pendapat itu akan digunakan DPR sebagai pertimbangan untuk memutuskan pengesahan RUU KUP. Bahkan, Andreas menjamin, DPR bakal menjunjung tinggi kualitas putusan daripada target waktu penetapan kebijakan. DPR menjamin ruh reformasi perpajakan seirama dengan UU Cipta Kerja.

“Target waktu sebagai acuan, kita harapkan di akhir 2021 selesai. Tapi kualitas pembahasan lebih penting. Bagi DPR, tujuannya ini supaya bagaimana reformasi perpajakan dapat memperkuat daya saing ekonomi, kan itu (tujuan) UU Ciptaker. Supaya ekonomi kita bisa bertumbuh tinggi, sehingga dapat menciptakan lapangan pekerjaan. Pajak itu di hilir, hulunya kan sektor sektor—pertanian, perdagangan, industri. Kalau ini tumbuh, bayar pajak pasti bisa diharapkan,” jelas eks Komite Pemantau Risiko PT Bank Central Asia (BCA) ini.

Andreas mengakui, RUU KUP yang diusulkan pemerintah sudah mengarah ke tujuan itu. Namun, DPR tetap wajib memperkaya kajian dan analisis berdasarkan pendapat dari seluruh pihak, agar reformasi perpajakan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi secara komprehensif. Aturan yang ditetapkan pun dapat diimplementasikan. Jangan sampai aturan hanya menimbulkan polemik ketimbang manfaatnya.

“Kalau kita lihat kontributor dalam struktur penerimaan kita nomor satu PPN, lanjut PPh badan, PPh OP (orang pribadi). Di situ saya lihat tax gap-nya, PPh OP relatif kecil, terus PPN kita lihatnya inefisiensi masih rendah. Sehingga perlu ada penataan ulang PPN. Termasuk untuk KUP nya sendiri supaya lebih mencerminkan pemajakan adil, sehat, efektif dan akuntabel. Teknisnya juga harus jelas. Misalnya PPN sembako, beras (premium), bagaimana mengawasinya?,” ujar alumnus Institut Teknologi Massachusetts Amerika Serikat ini. Tax gap merupakan realisasi yang mampu dihimpun dibandingkan potensi perpajakannya.

Di sisi lain, DPR pun akan mengkaji lebih saksama sektor-sektor yang bertumbuh saat ini, sehingga penerimaan pajak dapat ditingkatkan. Sebab perlu diingat, defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) harus kembali normal di bawah 3 persen di tahun 2023.

“Kalau kebijakannya tepat, akan menciptakan lapangan pekerjaan. Pertumbuhan ekonomi kita kan masih tergantung oleh konsumsi. Nah konsumsi tergantung daya beli, daya beli ini kalau enggak ada lapangan pekerjaan bagaimana? Jadi siklus atau dampak kebijakan harus dikaji secara menyeluruh. Tapi perlu diingat, DPR menekankan penanganan Covid-19 dulu, semua kebijakan (perpajakan) mengikuti,” kata Andreas.

Sebagai informasi, lima revisi RUU KUP yang telah disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, pada (28/6), meliputi:

  1. Perubahan materi UU KUP
  2. Asistensi penagihan pajak global
  3. Kesetaraan dalam pengenaan sanksi dalam upaya hukum
  4. Tindak lanjut putusan MAP
  5. Penunjukan pihak lain untuk memungut PPh, PPN, PTE (pajak transaksi elektronik)
  6. Program peningkatan kepatuhan Wajib Pajak
  7. Penegakan hukum pidana pajak dengan mengedepankan ultimum remedium
  8. Perubahan materi UU PPh
  9. Pengaturan kembali fringe benefit
  10. Perubahan tarif dan bracket PPh OP
  11. Instrumen pencegahan penghindaran pajak (GAAR)
  12. Penyesuaian insentif Wajib Pajak UKM (usaha kecil menengah) dengan omzet ≤ Rp 50 miliar
  13. Penerapan alternative minimum tax (AMT)
  14. Perubahan materi UU PPN
  15. Pengurangan pengecualian dan fasilitas PPN
  16. Pengenaan PPN multitarif
  17. Kemudahan dan kesederhanaan PPN (PPN final/GST)
  18. Perubahan materi UU Cukai
  19. Penambahan barang kena cukai (cukai plastik)
  20. Pengenaan pajak karbon

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version