Menu
in ,

DJP Sosialisasikan UU HPP dan Kenaikan PPN

Pajak.com, Jakarta – Batas akhir waktu pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) hampir berakhir. Untuk itu, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menggelar acara Spectaxcular 2022 secara hybrid, offline dan online. Selain sebagai ajang sosialisasi pelaporan SPT Tahunan 2021, acara ini juga dimanfaatkan untuk sosialisasi Undang-Undang (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), termasuk mengajak Wajib Pajak mengungkapkan harta yang belum dilaporkan pada Program Pengungkapan Sukarela (PPS).

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Neilmaldrin Noor menjelaskan, Spectaxcular merupakan agenda rutin tahunan yang sudah Direktorat Jenderal Pajak lakukan sejak beberapa tahun yang lalu. Acara ini biasanya digelar pada Maret yang merupakan kegiatan untuk memberikan pengingat kepada para Wajib Pajak agar segera melaporkan SPT melalui e-Filing.

Selain PPS, materi UU HPP yang disosialisasikan di antaranya terkait dengan kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 11 persen. Neil mengatakan, kebijakan tersebut perlu menjadi perhatian sehingga DJP harus menyampaikan tujuan dan manfaatnya kepada masyarakat.

“Perlu juga kiranya disampaikan kepada masyarakat luas tentang latar belakang dan manfaat dari penyesuaian tarif PPN ini,” katanya dalam acara Spectaxcular 2022 di Aula Cakti Buddhi Bhakti DJP pada Rabu (23/3/2022).

Dalam beberapa kesempatan, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani juga menjelaskan, kenaikan PPN akan digunakan untuk masyarakat lagi berupa pembangunan infrastruktur, sekolah, subsidi LPG, subsidi listrik dan lainnya. Tarif PPN Indonesia sendiri jika dibandingkan dengan beberapa negara di dunia relatif lebih rendah, misalnya Filipina yang menetapkan PPN 12 persen, China 13 persen, Arab Saudi 15 persen, Pakistan 17 persen dan India 18 persen.

Selain tarif PPN, tarif PPh untuk masyarakat kaya baru dinaikkan menjadi 35 persen, sementara di dunia sudah mencapai 40 persen. Menurut Sri Mulyani, kenaikan tarif yang dilakukan pemerintah tidak berlebihan, meski masih jauh lebih rendah dibanding tarif pajak di negara lain.

Sri Mulyani juga menjelaskan, kenaikan tarif PPN tidak lain untuk membuat rezim pajak yang adil dan kuat, sesuai dengan rencana pemerintah sejak UU HPP masih digodok bersama DPR tahun lalu. Menurut dia, rezim pajak yang adil dan kuat bukan untuk menyusahkan rakyat. Namun, pajak yang diambil negara kembali berakhir dan dinikmati oleh rakyat, berupa bantuan sosial, subsidi listrik, subsidi energi, pembangunan sekolah, hingga pembangunan rumah sakit.

Dengan kenaikan PPN ini, beberapa barang yang dekat dengan masyarakat dan dipastikan naik karena dikenakan PPN 11 persen, di antaranya adalah baju atau pakaian, sabun, tas, sepatu, pulsa, rumah, motor dan barang lainnya yang dikenakan PPN.

Adapun barang yang tidak dikenai PPN, antara lain makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak. Hal tersebut termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering, yang merupakan objek pajak daerah dan retribusi daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pajak daerah dan retribusi daerah. Barang lain yang juga bebas dari PPN 11 persen adalah uang dan emas batangan untuk kepentingan cadangan devisa negara, dan surat berharga.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version