Menu
in ,

DJP Beberkan Cara Gali Potensi Penerimaan Pajak

Pajak.com, Jakarta – Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Neilmaldrin Noor membeberkan sejumlah cara bagaimana DJP menggali potensi penerimaan pajak. Hal itu ia ungkapkan untuk merespons beragam pertanyaan yang datang dari masyarakat.

Neil mengatakan, pemerintah berusaha semaksimal mungkin mengumpulkan penerimaan dari semua subjek pajak sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Selama ini, DJP terus memperbaiki sistem administrasi serta kepastian regulasinya untuk memperluas basis data perpajakan.

Salah satu instrumennya adalah kewenangan pemerintah untuk meminta data keuangan berupa laporan keuangan, bukti, maupun keterangan dari lembaga jasa keuangan; seperti perbankan, pasar modal, perasuransian, atau jasa keuangan lainnya. DJP menerima data tersebut secara rutin di bulan April setiap tahunnya.

Hal itu berdasarkan UU Nomor 9 Tahun 2017 tentang penetapan Perppu 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan menjadi Undang-Undang. Neil menyebut, sebanyak 69 instansi, lembaga, asosiasi, dan pihak lainnya juga mengirim data perpajakan secara berkala kepada DJP yang diterima setiap bulan, setiap semester, atau setiap tahun tergantung dari jenis datanya.

“Tidak hanya itu, pemerintah Indonesia juga aktif berpartisipasi dalam pertukaran data otomatis (AEoI) dengan banyak yurisdiksi di dunia, tercatat saat ini sudah ada 113 yurisdiksi partisipan (inbound), dan 95 yuridiksi tujuan pelaporan (outbound) yang diterima setiap bulan September,” ujar Neil melalui keterangan resmi yang diterima Pajak.com, Jumat (22/7).

Berdasarkan aneka sumber data tersebut, DJP melakukan pengujian baik formal maupun material terhadap kepatuhan Wajib Pajak, dan juga melakukan pengawasan termasuk pengawasan berbasis kewilayahan.

“Kegiatan pengujian kepatuhan dan pengawasan dilaksanakan terkait dengan pemungutan pajak di Indonesia yang didasarkan pada self assessment system, di mana Wajib Pajak menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri kewajiban perpajakannya,” jelasnya.

Neil memastikan, apabila berdasarkan pelaksanaan tugas dan fungsi tersebut terdapat ketidaksesuaian antara data yang diperoleh DJP dengan Surat Pemberitahuan (SPT) yang dilaporkan, maka akan ditindaklanjuti dengan surat imbauan atau permintaan penjelasan atau klarifikasi, yang kemudian dapat berlanjut sampai dengan kegiatan pengujian kepatuhan berupa pemeriksaan.

Di sisi lain, apabila data yang diperoleh menyatakan belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) maka akan ditindaklanjuti dengan imbauan untuk mendaftarkan diri atau DJP akan menerbitkan NPWP secara jabatan. Selain itu, dalam melakukan pengawasan terhadap kepatuhan Wajib Pajak, DJP juga memetakan Wajib Pajak berdasarkan skala usahanya.

Neil menyebut, DJP membagi Wajib Pajak di KPP Pratama dalam dua kategori, yaitu Wajib Pajak Strategis dan Wajib Pajak Kewilayahan. Klasifikasi ini dimaksudkan agar pengawasan berjalan lebih efisien.

“Terhadap Wajib Pajak Strategis, DJP melakukan pengawasan secara lebih intensif. Hal ini dikarenakan skala usaha mereka lebih besar, lebih kompleks, dan proses bisnisnya lebih rumit. Mereka dikelola oleh satu seksi tersendiri,” ucapnya.

Dalam kurun waktu tahun 2020 hingga Juni 2022, DJP telah menerbitkan lebih dari 400 ribu surat imbauan atau permintaan penjelasan kepada Wajib Pajak Strategis. Terhadap Wajib Pajak Kewilayahan, lanjut Neil, DJP menerapkan model pengawasan yang sedikit berbeda dengan Wajib Pajak Strategis.

Katanya, pengawasan dilakukan melalui penguasaan wilayah kerja dan memanfaatkan data terkait Izin Mendirikan Bangunan, Izin Usaha, peta wilayah, dan sebagainya. Data ini disusun menjadi Daftar Sasaran Ekstensifikasi (DSE). DSE menjadi dasar pelaksanaan kegiatan ekstensifikasi Wajib Pajak baru.

Ia pun mengklaim, melalui perjalanan Reformasi Perpajakan yang telah berlangsung lama, jumlah Wajib Pajak telah tumbuh secara signifikan. Dari hanya 2,59 juta Wajib Pajak di tahun 2002, saat ini sudah mencapai 45 juta lebih Wajib Pajak yang terdaftar.

“Rasio kepatuhan penyampaian SPT Wajib pajak terdaftar juga terus meningkat. Tahun 2010 rasionya masih di kisaran 45 persen, namun di tahun 2021 rasionya sudah melebihi 80 persen. Wajib Pajak yang menyampaikan SPT secara elektronik juga terus meningkat mencapai 96 persen untuk SPT Tahun 2021 lalu,” tambahnya.

Dalam melakukan penggalian potensi pajak, DJP menerapkan cara yang terstruktur, metodis, dan objektif dengan menggunakan Compliance Risk Management (CRM) untuk memetakan profil Wajib Pajak berbasis risiko kepatuhan. Aplikasi ini secara resmi diluncurkan DJP pada April lalu, sebagai landasan menuju implementasi core tax administration system pada 2023.

“CRM adalah mesin risiko yang memetakan risiko kepatuhan Wajib Pajak berdasarkan data SPT yang disandingkan dengan data yang diterima dari pihak ketiga. Hal inilah yang menjadi dasar penerbitan surat imbauan atau permintaan penjelasan,” kata Neil.

Adapun total imbauan atau permintaan penjelasan yang sudah diterbitkan DJP dalam kurun waktu tahun 2019–2021 sebanyak 9,5 juta surat yang ditujukan kepada 3,9 juta Wajib Pajak. Neil menegaskan, DJP terbuka terhadap informasi terkait kegiatan usaha atau potensi pajak dari masyarakat.

“Setiap informasi yang masuk, kami tindaklanjuti secara sistematis. Kami punya prosedur bernama pemeriksaan atas Informasi, Data, Laporan, dan Pengaduan (IDLP),” tegasnya.

Terbaru, pemerintah sudah mengintegrasikan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dengan NPWP. Dengan implementasi NIK sebagai NPWP, semua yang ber-NIK otomatis masuk di dalam sistem administrasi perpajakan dan wajib memenuhi kewajiban perpajakannya apabila sudah memenuhi syarat subjektif dan objektif.

Untuk Wajib Pajak badan, kemungkinan untuk tidak terdaftar dalam administrasi DJP juga semakin kecil karena DJP bekerja sama dengan 28 kementerian atau lembaga dan 542 Pemerintah Daerah telah menerapkan program Konfirmasi Status Wajib Pajak (KSWP), sehingga izin untuk berusaha hanya akan dapat diterbitkan apabila sudah memiliki NPWP.

Namun, sesuai ketentuan Pasal 34 UU KUP, setiap pejabat, baik petugas pajak maupun mereka yang melakukan tugas di bidang perpajakan dilarang mengungkapkan kerahasiaan Wajib Pajak yang menyangkut masalah perpajakan, sehingga kegiatan pengawasan dan pengujian kepatuhan pada Wajib Pajak tidak dapat dipublikasikan.

Dengan berbagai milestone Reformasi Perpajakan yang sudah diterapkan di DJP, Neil meyakini langkah pengawasan DJP akan semakin efektif karena didukung basis data yang sudah sangat lengkap—walaupun belum sempurna, tetapi terus ditingkatkan.

“Bila ada Wajib Pajak yang tidak patuh, atau jika ada yang tidak mendaftar sebagai Wajib Pajak, cepat atau lambat pasti akan diketahui dan akan menghadapi risiko ketidakpatuhan dimulai dengan imbauan sampai penegakan hukum pajak,” pungkasnya.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version