DJP Bakal Gunakan “Core Tax” dan Sistem Lama Secara Paralel untuk Jaga Penerimaan Pajak
Pajak.com, Jakarta – Komisi XI DPR meminta Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan untuk tetap memanfaatkan sistem perpajakan lama sebagai langkah mitigasi dalam penerapan core tax yang dilaporkan mengalami hambatan. Langkah ini diambil guna memastikan bahwa proses administrasi perpajakan tetap berjalan lancar dan tidak mengganggu penerimaan negara.
Keputusan ini merupakan hasil kesepakatan antara Komisi XI DPR dan DJP dalam rapat dengar pendapat pada Senin (10/2/2025) kemarin, di mana core tax akan digunakan secara bertahap dan paralel dengan sistem informasi DJP/SIDJP.
“Direktur Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan agar memanfaatkan kembali sistem perpajakan yang lama, sebagai antisipasi dalam mitigasi implementasi core tax,” kata Ketua Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun dalam konferensi pers, dikutip Pajak.com pada Selasa (11/2/2025).
Menurut Misbakhun, DJP juga memastikan bahwa penerapan sistem teknologi informasi (TI) apa pun tidak akan berdampak negatif terhadap kolektivitas penerimaan pajak dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2025.
Selain itu, DPR juga memastikan bahwa DJP tidak mengenakan sanksi bagi Wajib Pajak jika terjadi gangguan akibat penerapan sistem core tax pada tahun 2025. Langkah ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dan kenyamanan bagi Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.
“Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan tidak mengenakan sanksi terhadap Wajib Pajak yang diakibatkan oleh gangguan penerapan sistem core tax pada tahun 2025,” imbuhnya.
Sebagai bagian dari transparansi dan pengawasan, DPR meminta DJP untuk melaporkan perkembangan implementasi core tax kepada Komisi XI secara berkala. Dengan demikian, DPR dapat memastikan bahwa sistem ini benar-benar siap sebelum sepenuhnya menggantikan sistem lama.
Kesepakatan ini menjadi langkah strategis dalam reformasi administrasi perpajakan di Indonesia. Dengan penggunaan sistem baru dan lama secara paralel, diharapkan proses transisi berjalan lebih lancar tanpa menghambat kinerja penerimaan pajak nasional.
Sebelumnya, Ekonom LPEM FEB Universitas Indonesia (UI) Teuku Riefky menilai, perbaikan sistem perpajakan seperti core tax sangat penting dalam mengoptimalkan penerimaan negara. Menurutnya, langkah ini dapat meningkatkan efisiensi administrasi pajak serta memperkuat kepatuhan Wajib Pajak.
Pernyataan tersebut disampaikan Riefky untuk merespons berbagai kendala teknis dalam implementasi core tax yang mulai diterapkan DJP sejak 1 Januari 2025 ini. Sejumlah Wajib Pajak mengeluhkan gangguan sistem, waktu respons yang lambat, serta ketidaksesuaian data akibat transisi dari sistem lama ke core tax. Masalah ini berdampak pada kelancaran pelaporan pajak dan menimbulkan frustrasi di kalangan pengguna, terutama menjelang tenggat waktu pelaporan.
Padahal, lanjut Riefky, jika core tax dapat berjalan optimal, sistem ini diproyeksikan mampu meningkatkan rasio pajak Indonesia hingga dua poin persentase dari 10,31 persen pada 2023, angka yang masih tergolong rendah dibandingkan negara lain di kawasan. Ia memperkirakan, peningkatan ini berpotensi menghasilkan tambahan penerimaan sebesar Rp1.500 triliun dalam lima tahun ke depan.
“Integrasi ini bertujuan mengurangi beban administrasi, menekan biaya kepatuhan, serta meningkatkan interaksi antara Wajib Pajak dan otoritas pajak. Dengan sistem yang lebih efisien, pemerintah berharap kepatuhan pajak dapat meningkat,” ujar Riefky dalam keterangan resminya, Rabu (5/2).
Namun, ia menegaskan bahwa peningkatan penerimaan negara melalui digitalisasi perpajakan harus diimbangi dengan kebijakan lain yang mendukung pertumbuhan ekonomi dan menarik investasi.
Comments