Menu
in ,

DJP: Aset Kripto Penuhi Kriteria Sebagai Objek PPN

Pajak.comJakarta – Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Neilmaldrin Noor menyatakan bahwa pajak memandang aset kripto sebagai komoditas yang memenuhi kriteria sebagai objek Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Hal ini merujuk kepada pernyataan Bank Indonesia bahwa aset kripto bukanlah alat tukar yang sah, serta telah ditegaskan oleh Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) dan Kementerian Perdagangan bahwa aset kripto merupakan komoditas.

“Pertama yang harus diluruskan bahwa aset kripto di Indonesia ini tidak dianggap sebagai alat tukar maupun surat berharga, melainkan sebuah komoditas. Maka, merupakan barang kena pajak tidak berwujud dan harus dikenai PPN juga agar adil,” kata Neilmaldrin melalui keterangan resmi dikutip Jumat (15/4).

Ia menjelaskan, oleh karena aset kripto merupakan jenis objek pajak yang baru, pemerintah mengupayakan penerapan aturan yang mudah dan sederhana. Adapun cara pengenaan pajak pada perdagangan aset kripto adalah dengan melakukan penunjukkan pihak ketiga sebagai pemungut PPN perdagangan aset kripto, yaitu Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) baik dalam negeri maupun luar negeri.

“Atas perdagangan aset kripto, dipungut PPN besaran tertentu atau PPN Final dengan tarif 0,11 persen dari nilai transaksi dalam hal penyelenggara perdagangan adalah Pedagang Fisik Aset Kripto (PFAK) dan 0,22 persen dalam hal bukan oleh PFAK,” ucapnya.

Sedangkan untuk jasa mining (verifikasi transaksi aset) tarifnya yakni 1,1 persen dari nilai konversi aset kripto. Selain itu, dari perdagangan yang dilakukan juga memberikan tambahan kemampuan ekonomis bagi penjual sehingga merupakan objek pajak dan dipungut PPh pasal 22 final 0,1 persen dari nilai aset kripto (jika merupakan PFAK); atau 0,2 persen dari nilai aset kripto (jika bukan PFAK).

“Hal ini berlaku juga atas penghasilan yang diterima oleh penambang aset kripto (miner), merupakan tambahan kemampuan ekonomis yang dikenai PPh pasal 22 dengan tarif sebesar 0,1 persen dari penghasilan yang diterima atau diperoleh, tidak termasuk PPN,” imbuh Neilmalrdrin.

Sebelumnya, Kepala Sub Direktorat Pajak Pertambahan Nilai, Perdagangan, Jasa, dan Pajak Tidak Langsung Lainnya DJP Bonarsius Sipayung menjelaskan, penetapan pajak kripto mengusung prinsip keadilan dan tidak melebihi biaya transaksi karena akan merusak ekosistem aset kripto.

“Pajak kripto mengusung konsep keadilan dan menyesuaikan kebijakan kripto di dunia. Jangan sampai investor berkali-kali (kena pajak) dan kenapa 0,1 persen? karena benchmark-nya salah satunya dari pengenaan pajak untuk transaksi saham,” kata Bonarsius.

Otoritas pajak juga telah mengatur ketentuan pelaporan pajak penghasilan (PPh) bagi investor atau trader aset kripto. Mereka menetapkan bahwa Wajib Pajak tersebut punya kewajiban lapor PPh atas perdagangan aset kripto dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan. Nantinya, Wajib Pajak terkait akan mendapatkan bukti potong PPh dari exchanger. Bukti potong itu harus dilampirkan Wajib pajak dalam daftar penghasilan yang dipungut PPh final

Beberapa pokok pengaturan tersebut sejatinya telah termaktub dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan atas Transaksi Perdagangan Aset Kripto. Menurut DJP, peraturan ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum bagaimana perlakuan PPN dan Pajak Penghasilan (PPh) atas transaksi kripto yang berkembang di masyarakat.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version