Menu
in ,

Dirjen Pajak: Rasio Kepatuhan Wajib Pajak Terus Meningkat

Pajak.com, Jakarta – Dirjen Pajak Suryo Utomo mengungkapkan, rasio kepatuhan Wajib Pajak terus mengalami peningkatan dari 77,63 persen di 2020 menjadi 84,07 persen pada 2021. Hal itu ia sampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan Eselon I Kementerian Keuangan (Kemenkeu), di Gedung Parlemen DPR, yang juga disiarkan secara virtual, (14/6).

Sekilas mengulas, apa itu rasio kepatuhan? Mengutip dalam Laporan Tahunan DJP tahun 2020, rasio kepatuhan adalah perbandingan antara jumlah Surat Pemberitahuan (SPT) tahunan Pajak Penghasilan (PPh) yang diterima dalam suatu tahun pajak tertentu dengan jumlah Wajib Pajak terdaftar wajib SPT tahunan pada awal tahun. Sementara itu, ada pula rasio pajak (tax ratio), yakni perbandingan antara total penerimaan pajak dengan Produk Domestik Bruto (PDB) di periode yang sama. PDB adalah total nilai barang dan jasa yang dihasilkan oleh perekonomian suatu negara, dikurangi nilai barang dan jasa yang digunakan dalam produksi. Di Indonesia, rasio pajak juga mempunyai arti luas, yakni membandingkan total nilai penerimaan perpajakan, penerimaan sumber daya alam minyak dan gas, serta pertambangan mineral dan batu bara (minerba) dengan PDB nominal.

“Rasio kepatuhan mengalami peningkatan di 2020 dan 2021 dan diharapkan akan meningkat kedepannya. Bila melihat ke belakang, kepatuhan Wajib Pajak sempat alami penurunan pada 2018 (71,1 persen) dibandingkan sebelumnya (2016 sebesar 72,58 persen). Namun, pada tahun berikutnya kembali ada peningkatan (2019 sebesar 72,63 persen) hingga sekarang. Jumlah Wajib Pajak terdaftar dan lapor SPT tahunan juga alami peningkatan, yaitu 19 juta orang untuk tahun 2021,” ungkap Suryo.

Ia memerinci, tahun 2016, SPT tahunan yang dilaporkan oleh Wajib Pajak tercatat sebanyak 12,2 juta dari 20,1 juta Wajib Pajak yang harus untuk melaporkan SPT tahunan serta membayar pajak. Di tahun 2018, rasio kepatuhan mengalami penurunan, SPT tahunan yang dilaporkan oleh Wajib Pajak sebanyak 12,5 juta, padahal ada 17,6 juta yang wajib lapor SPT tahunan.

Kemudian, di tahun 2019 rasio kepatuhan kembali naik, SPT tahunan yang dilaporkan sebanyak 13,3 juta dari 16,6 juta Wajib Pajak yang harus melaporkan SPT tahunan serta membayar pajak. Tahun 2020, tren kenaikan terus berlanjut, SPT tahunan yang dilaporkan oleh Wajib Pajak sebanyak 19 juta Wajib Pajak.

“Pemerintah terus berupaya untuk meningkatkan rasio kewajiban pajak untuk tahun 2022. Berbagai upaya telah diambil, (diantaranya) memperluas basis pemajakan dengan meningkatkan kepatuhan secara sukarela, dengan mengadakan kegiatan edukasi dan peningkatan pelayanan, meningkatkan ekstensifikasi, serta pengawasan guna memperluas Wajib Pajak yang bisa dijangkau,” ungkap Suryo.

Secara simultan DJP memperluas kanal pelaporan dan pembayaran pajak agar mempermudah Wajib Pajak; optimalisasi pengumpulan, pemanfaatan data internal dan eksternal; penegakan hukum untuk mendorong kepatuhan Wajib Pajak.

“DJP juga akan mengintegrasi NIK (Nomor Induk Kependudukan) jadi NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) yang bertujuan untuk memperluas basis perpajakan di tahun 2023. Karena saat ini yang terdaftar, punya NPWP, baru sekitar 45 juta orang dari sekitar 200 juta masyarakat Indonesia. Ini diharapkan mampu mendukung kekuatan bagi penerimaan pajak ke depan,” kata Suryo.

Sementara itu, rasio pajak ditargetkan kembali meningkat menjadi 9,22 persen di tahun 2022 seiring dengan diimplementasikannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Rasio pajak diperkirakan menjadi 10,12 persen pada tahun 2025. Seperti diketahui, rasio pajak pada 2020 tercatat merosot menjadi sebesar 8,33 persen akibat pandemi COVID-19. Kemudian, naik ke level 9,11 persen pada 2021.

Suryo optimistis, integrasi NIK dan NPWP akan meningkatkan rasio pajak. Sebab minimnya basis pajak dan jumlah Wajib Pajak yang aktif membayar pajak, menjadi salah satu faktor yang menyebabkan rasio pajak Indonesia relatif rendah dibandingkan dengan negara sesama atau peer country.

Kendati demikian, ia menegaskan, bukan berarti semua masyarakat Indonesia wajib membayar pajak bila DJP mengintegrasikan NIK dan NPWP. Hanya masyarakat yang sudah memiliki penghasilan tetap dan masuk ke dalam layer pembayaran PPh yang akan dikenakan pajak.

“Jadi, misalnya, anak SMP (Sekolah Menengah Pertama), atau anak SMA (Sekolah Menengah Atas) atau anak kuliah yang baru memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) tidak harus membayar pajak. Kalau nanti sudah memiliki penghasilan reguler, baru harus aktivasi dan membayar pajak,” jelas Suryo.

Berdasarkan UU HPP, pemilik NIK yang berpenghasilan kurang dari Rp 4,5 juta per bulan atau Rp 54 juta per tahun, maka tidak akan dikenakan pajak. Masyarakat dengan penghasilan ini masuk kategori Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Lalu, berapa penghasilan yang dikenakan pajak? Berapa tarif pajaknya? Ketentuan Penghasilan Kena Pajak (PKP) adalah sebagai berikut:

  1. Penghasilan sampai dengan Rp 60 juta (tarif Pajak Penghasilan/PPh final 5 persen.
  2. Penghasilan di atas Rp 60 juta hingga Rp 250 juta (tarif PPh final 15 persen).
  3. Penghasilan di atas Rp 250 juta sampai dengan Rp 500 juta (tarif PPh final 25 persen).
  4. Penghasilan di atas Rp 500 juta hingga Rp 5 miliar (tarif PPh final 30 persen).
  5. Penghasilan di atas Rp 5 miliar (tarif PPh final 35 persen).

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version