Menu
in ,

Dibalik Naiknya Tarif Pajak Pertambahan Nilai 11 Persen

naiknya tarif pajak pertambahan nilai

FOTO: IST

Dibalik Naiknya Tarif Pajak Pertambahan Nilai 11 Persen. Perubahan ketentuan perpajakan dalam rangka agenda reformasi perpajakan melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan satu per satu mulai berjalan. Terbaru, klaster Pajak Pertambahan Nilai (PPN) mendapat gilirannya untuk bergulir di masyarakat. Kenaikan tarif PPN barang dan jasa diikuti dengan pengurangan negative list objek PPN dan pengaturan PPN lainnya diharapkan mampu memperbaiki iklim PPN di Indonesia.

Kenaikan tarif PPN secara bertahap dari sebelumnya 10% menjadi 11% mulai 1 April 2022 dan menjadi 12% mulai paling lambat 1 Januari 2025 menjadi ketentuan yang paling kentara dari klaster PPN. Kenaikan tarif ini menyebabkan pengamat dan masyarakat berpikir, sebenarnya apakah alasan dinaikkannya tarif PPN ini?

Kenaikan tarif PPN ini ditengarai untuk membangun fondasi perpajakan yang kuat, sebagaimana dikatakan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani. Sebagaimana diketahui, PPN bersamaan dengan PPh menjadi kontributor terbesar penerimaan perpajakan di Indonesia. Dengan berkurangnya PPh Badan dari 25% ke 22%, serta adanya kenaikan jenjang pengenaan tarif progresif 5% orang pribadi dan batasan omzet 500 juta UMKM, penerimaan perpajakan membutuhkan angin segar. Disini pemerintah menyiasati dengan menaikkan tarif umum PPN barang dan jasa.

Tarif PPN 10% yang selama ini berlaku di Indonesia memang relatif lebih rendah daripada rata-rata negara G20 dan OECD, yakni sekitar 15% hingga 15,5%. Meskipun bila dibandingkan dengan negara-negara tetangga di ASEAN, tarif 11 % akan menempatkan Indonesia di posisi kedua tarif PPN tertinggi setelah Filipina yang memiliki tarif PPN sebesar 12%.

Kenaikan tarif ini juga diikuti dengan pengurangan negative list objek PPN. Kini sesuai UU HPP dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 70/PMK.03/2022 negative list PPN menjadi hanya makanan dan minuman tertentu, jasa kesenian dan hiburan, jasa perhotelan, jasa penyediaan tempat parkir, serta jasa boga atau katering. Pengurangan negative list dan kenaikan tarif PPN ini menjadi kombinasi yang diharapkan mampu mendongkrak kinerja PPN di Indonesia.

Selama ini, Pemerintah telah memberlakukan berbagai insentif dan fasilitas PPN ditanggung pemerintah dan dibebaskan untuk barang dan jasa tertentu, yang jumlahnya tak sedikit. Salah satunya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2015 tentang pembebasan PPN atas impor dan/atau penyerahan barang kena pajak tertentu yang bersifat strategis. Di masa pandemi, pemerintah juga telah memberikan berbagai insentif perpajakan, tak terkecuali insentif PPN yang salah satunya diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 86 Tahun 2020 dan perubahannya. Kenaikan tarif PPN ini dipandang sebagai cara untuk menutupi berbagai biaya dan subsidi yang diberikan pemerintah tersebut.

Sebab lain kenaikan tarif PPN adalah untuk membantu menutup besarnya pengeluaran pemerintah dalam rangka Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Pandemi COVID-19 yang masuk ke Indonesia sejak 2020 lalu tak ayal membuat APBN Indonesia bekerja sangat keras. Penerimaan berkurang dan biaya bertambah, menyebabkan defisit APBN meningkat terhadap PDB. Di 2021, realisasi defisit APBN tahun anggaran 2021 mencapai sekitar 5%.

Dalam rangka menekan defisit APBN ke target 3%, pemerintah menaikkan tarif PPN barang dan jasa menjadi 11%. Namun kenaikan PPN ini bisa menjadi boomerang bagi perekonomian negara. Di masa pemulihan pandemi ini, konsumsi rumah tangga dalam negeri masih belum bekerja dengan maksimal. Daya beli masyarakat belum kembali seperti semula, dan aktivitas konsumsi dalam negeri relatif rendah daripada ekspor dan impor. Kenaikan tarif PPN ini berpotensi menghambat pemulihan daya beli masyarakat, apalagi saat ini barang kebutuhan sehari-hari seperti minyak goreng hingga kedelai turut dilanda kenaikan harga.

Dilihat dari sudut pandang makro, reformasi PPN dan UU HPP secara keseluruhan hadir dalam rangka mencapai tujuan peningkatan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Demi mencapai tujuan tersebut, kinerja fiskal perlu diperbaiki. Perbaikan kinerja fiskal ini dicapai melalui peningkatan tax ratio serta perbaikan defisit anggaran. Kedua jalan inilah yang ingin ditempuh pemerintah melalui kenaikan tarif PPN 11% serta pengurangan negative list objek PPN.

Kenaikan tarif PPN ini juga bisa dipandang sebagai jalan guna membiayai proyek Ibu Kota Negara yang sedang berusaha dijalankan pemerintah. Kebutuhan pembiayaan yang besar di tengah pelemahan ekonomi membuat pemerintah memutar otak mencari sumber pemasukan. Namun sebenarnya, apabila kenaikan PPN hanya didasarkan pada sebab pembiayaan IKN, tentu masih dapat ditunda. Hal ini karena dikhawatirkan akan menaikkan harga barang dan jasa sehingga menyebabkan inflasi yang tak terkendali akibat pemulihan ekonomi yang belum maksimal.

Naiknya tarif PPN tak ayal menimbulkan pro kontra di masyarakat. Bagaimana menurut Anda? Di pihak manakah Anda berpijak terhadap kebijakan ini?

 

* Penulis Adalah Mahasiswa PKN STAN, Jurusan D-III Perpajakan

* Informasi yang disampaikan dalam Artikel ini sepenuhnya merupakan Tanggung Jawab Penulis

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version