DEN Ungkap Kendala Utama Perluasan Basis Pajak di Indonesia
Pajak.com, Jakarta – Perluasan basis pajak menjadi fokus utama dalam meningkatkan penerimaan negara. Dewan Ekonomi Nasional (DEN) menyoroti pentingnya digitalisasi sebagai solusi untuk memperluas cakupan pajak dengan memanfaatkan teknologi canggih.
Menurut Anggota DEN Chatib Basri, tingkat kepatuhan pajak yang rendah sebagian besar disebabkan oleh keterbatasan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan dalam mengakses data Wajib Pajak yang belum tercatat.
“Kalau digitalisasi ini bisa dilakukan dengan GovTech (Government technology) itu kemudian akan bisa diperluas. Anda misalnya transaksi e-commerce, selama ini mungkin belum tercantum,” kata Chatib dalam konferensi pers, dikutip Pajak.com pada Jumat (10/1/2025).
Ia menambahkan, dengan integrasi digital, semua transaksi akan dapat terdeteksi oleh DJP. “Nanti kalau dia menjadi integrated, semua transaksi Anda DJP akan tahu kan. Sehingga dengan sendirinya tax base-nya akan makin luas,” jelas Chatib.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua DEN Luhut Binsar Pandjaitan memberikan gambaran bagaimana teknologi dapat digunakan untuk mendorong kepatuhan pajak. Ia membandingkannya dengan pelacakan pergerakan saat pandemi COVID-19. “Kalau Anda ingat, handphone kita itu akan menunjukkan kemana saja Anda bergerak. Di sini juga sama,” katanya.
Luhut menekankan, teknologi dapat membaca aktivitas hingga detail tertentu, seperti kebiasaan bepergian. “Kalau nanti ternyata Anda itu terlalu sering ke Bali terus-terus ke Bali berarti kau punya uang. Nggak mungkin kamu nggak punya uang jalan situ, apalagi kalau kamu traveling banyak ke luar negeri,” ujar Luhut.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa teknologi ini tidak hanya mempermudah pelacakan, tetapi juga menjadi alat untuk mendorong kepatuhan pajak. “Kalau enggak, kamu punya perusahaan nantinya bisa kita kena sanksi begitu,” tegasnya.
Penggunaan teknologi digital yang terintegrasi diharapkan menjadi tonggak baru dalam memperluas basis pajak di Indonesia, sekaligus mendorong kepatuhan yang lebih tinggi dari para Wajib Pajak.
“Core Tax” Tambah Potensi Penerimaan Negara Rp1.500 Triliun
Sebelumnya, Luhut juga mengungkapkan bahwa reformasi sistem perpajakan melalui core tax diyakini mampu meningkatkan potensi penerimaan negara hingga Rp1.500 triliun. Menurutnya, penerapan core tax dapat memperbaiki pengelolaan pajak Indonesia yang selama ini dinilai belum maksimal.
“Karena kita bicara masalah pajak, karena penerimaan pajak yang tidak maksimal, kita mendukung program core tax yang dilakukan oleh Kementerian Keuangan. Sebenarnya, kami ter-trigger karena briefing kami dengan World Bank,” ujar Luhut.
Menurut Luhut, kritik dari World Bank menyebutkan bahwa Indonesia termasuk salah satu negara yang pengelolaan pajaknya belum optimal. “Jadi World Bank itu mengkritik kita bahwa kita salah satu negara yang collect pajak tidak baik. Kita disamakan dengan Nigeria, dan menurut mereka, kalau kita bisa lakukan program ini, itu bisa kita dapat 6,4 persen dari PDB atau setara kira-kira Rp1.500 triliun,” jelasnya.
Ia menambahkan, angka tersebut telah dianalisis dan berpotensi tercapai jika pelaksanaan core tax dilakukan dengan baik. “Angka ini kita break down sekarang, dan saya lihat sih kalau kita lakukan dengan baik dan semua sepakat. Jangan berkelahi, jangan terus kritik-kritik dulu. Biarkan jalan dulu, nanti baru berikan kritik,” tegas Luhut.
Adapun, core tax dirancang untuk meningkatkan transparansi, efisiensi, dan kepatuhan Wajib Pajak. Sistem ini memungkinkan deteksi otomatis terhadap ketidaksesuaian data yang dilaporkan, sehingga diharapkan dapat menjawab berbagai permasalahan dalam pengelolaan pajak Indonesia. Luhut optimistis, jika core tax berjalan sesuai rencana, penerimaan negara dapat meningkat signifikan dan mendukung pembangunan ekonomi yang lebih baik.
Comments