Bank Dunia Kritik Kinerja Penerimaan Pajak Indonesia, Luhut: Disamakan dengan Nigeria
Pajak.com, Jakarta – Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan menyampaikan curahan hati terkait kritik pedas Bank Dunia terhadap kinerja penerimaan pajak Indonesia. Menurutnya, dalam sebuah briefing bersama Bank Dunia, Indonesia disebut sebagai salah satu negara dengan pengelolaan penerimaan pajak yang kurang baik, bahkan disandingkan dengan Nigeria.
“Kami sebenarnya ter-trigger karena briefing kami dengan World Bank. Jadi World Bank itu mengkritik kita bahwa kita salah satu negara yang collect pajak tidak baik. Kita disamakan dengan Nigeria,” ujar Luhut dalam konferensi pers, di Jakarta, Kamis (9/1/2025).
Menurut Luhut, penerimaan pajak yang tidak maksimal menjadi masalah yang harus segera dibenahi. Oleh karena itu, pihaknya mendukung penuh program core tax system yang tengah dijalankan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sebagai langkah untuk meningkatkan pengelolaan pajak.
“Kalau kita lakukan dengan baik dan semua sepakat, jangan berkelahi, jangan terus kritik-kritikkan dulu. Biarkan jalan dulu, nanti ya berikan kritik kamu,” tegasnya.
Ia mengimbau berbagai pihak untuk mendukung upaya perbaikan penerimaan pajak, alih-alih saling mengkritik. “Karena ini banyak masalah yang harus diselesaikan,” tambah Luhut.
Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto mengadakan pertemuan dengan DEN di Istana Merdeka, Jakarta, untuk membahas berbagai tantangan dalam penerimaan pajak pada Rabu (8/1/2025) kemarin. Dalam pertemuan tersebut, Wakil Ketua DEN Mari Elka Pangestu, mengungkapkan hasil studi Bank Dunia yang menunjukkan adanya tax gap di Indonesia sebesar 6,4 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Angka ini setara dengan potensi penerimaan pajak Rp1.500 triliun yang belum tergali sepenuhnya.
Tax gap sendiri merujuk pada selisih antara penerimaan pajak aktual pemerintah dengan potensi penerimaan pajak yang seharusnya dapat dicapai. Berdasarkan penjelasan Mari Elka, dari total tax gap tersebut, 3,7 persen disebabkan oleh rendahnya tingkat kepatuhan Wajib Pajak, sedangkan 2,7 persen berasal dari kebijakan perpajakan, seperti insentif pajak dan kebijakan pajak yang ditanggung oleh pemerintah.
“Yang paling penting adalah program digitalisasi karena itulah yang akan bisa memperbaiki administrasi pajak maupun mengurangi penghindaran pajak, dan meningkatkan kepatuhan, sebelum kita bicara mengenai perubahan-perubahan kebijakan,” ujar Mari Elka.
Sebagai langkah strategis, pemerintah telah memulai modernisasi sistem perpajakan dengan memperkenalkan program core tax. Program ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi administrasi perpajakan secara digital sekaligus mendukung kepatuhan Wajib Pajak.
Mulai 1 Januari 2025, core tax akan memungkinkan Wajib Pajak untuk mendaftarkan diri, melakukan pembayaran pajak secara elektronik, hingga melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) tahunan atau bulanan, dimulai dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN). “Core tax untuk memperbaiki collection pajak, data itu perlu juga dikaitkan dengan digital ID siapa itu pembayar pajaknya dan data-data lain yang bisa membantu profiling dari Wajib Pajak itu,” jelas Mari Elka.
Dalam pertemuan tersebut, Presiden Prabowo juga menyetujui pembentukan Komite Percepatan Transformasi Digital untuk memastikan implementasi tiga elemen penting, yaitu digital ID, digital payment, dan data exchange, yang diharapkan mampu mempercepat reformasi perpajakan di Indonesia.
Comments