Menu
in ,

Core Tax Urgen Dibangun Demi Tingkatkan Penerimaan

Core Tax Urgen Dibangun Demi Tingkatkan Penerimaan

FOTO : IST

Pajak.com, Jakarta – Dirjen Pajak Suryo Utomo mengungkapkan bahwa Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP) atau Core Tax Administration System/CTAS (core tax) merupakan hal yang urgen untuk dibangun. Sebab core tax akan mengintegrasikan 21 proses bisnis, mulai dari pendaftaran hingga penegakan hukum ke dalam satu sistem, sehingga diyakini mampu meningkatkan penerimaan negara.

“Kalau untuk kebutuhan pagu anggaran mencapai Rp 2,4 triliun dan saat ini di tahun 2020 baru direalisasikan Rp 37 miliar. Kalau untuk proses persentase penyelesaian nanti kami cek data. Tapi pagu di tahun 2021 pagunya Rp 225 miliar. Output-nya adalah revenue accounting, istilah kata adalah berapa penerimaan negara dan piutang perpajakannya. Itu semua menjadi satu,” jelas Suryo dalam rapat kerja bersama Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), pada Rabu (22/9).

Ia menuturkan, sejak Peraturan Presiden (Pepres) Nomor 40 Tahun 2018, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah menyiapkan segala proses yang diperlukan untuk membangun sistem core tax. DJP mulai melakukan pengadaan melalui Pricewaterhouse Coopers Consulting Indonesia (PwC Indonesia) yang dipilih menteri keuangan sesuai KMK-939/KMK.03/2019 pada tanggal 27 Desember 2019. Kemudian, DJP melakukan proses international bidding pada 2020. Secara spesifik, pengembangan sistem market sounding (kajian pasar) dilakukan 4—6 Februari 2020. Kemudian, di tahun 2021, DJP mendesain ulang 21 proses bisnis untuk menyesuaikan kebutuhan dan ketersediaan sistem operasi.

“Akhir September ini seluruh detail proses bisnis selesai dan di saat yang bersamaan kami mulai connect dengan system integrator untuk mulai melakukan pembangunan,” jelas Suryo.

Di tahun 2022, DJP berencana untuk melakukan pengadaan infrastruktur core tax secara komprehensif dan rencananya akan diluncurkan pada tahun 2023 atau akhir tahun 2024.

Di kesempatan yang sama, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menambahkan, sejatinya urgensi pengembangan core tax telah disadari sejak tahun 2008 silam. Kala itu, kementerian keuangan sudah berencana untuk mengembangkan sistem ini menggunakan dana pinjaman dari Bank Dunia. Namun, rencana itu batal di tahun 2011.

“Tahun 2011 di-drop, tidak jadi pinjam. Jadi kita gunakan SIDJP (sistem informasi DJP). SIDJP dikembangkan terus oleh teman-teman pajak. Namun, selama bertahun-tahun SIDJP belum mampu mengintegrasikan seluruh proses bisnis yang ada di DJP. Settlement sampai dispute itu tidak dalam satu sistem sehingga semuanya terpotong-potong, dari kantor ke kantor (Kantor Pelayanan Pajak/KPP) juga sendiri-sendiri,” kata Sri Mulyani.

Dengan demikian, core tax merupakan hal yang sangat mendesak, apalagi pajak berkontribusi besar terhadap peningkatan penerimaan pada anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Perpres Nomor 40 Tahun 2018 telah mengatur proses pengadaan barang dan jasa untuk pembangunan sistem core tax. Artinya, sistem ini memiliki kepastian hukum dan meminimalisasi potensi dispute.

“Kementerian keuangan telah membentuk tim PSIAP untuk mengawal core tax administration system yang nantinya akan menggantikan SIDJP. Paling tidak, sebelum Presiden Jokowi selesai (jabatan), seharusnya selesailah ini,” kata Sri Mulyani.

Usai mendengar pemaparan Dirjen Pajak dan Menkeu, beberapa anggota Komisi XI mengajukan sejumlah pertanyaan dan menyetujui total anggaran sebesar Rp 44 triliun untuk pengembangan sistem di tahun 2022. Anggaran itu untuk beberapa pos, diantaranya pertama, pengembangan core tax dan Customs-Excise Information System and Automation (CEISA) yang akan dijalankan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) sebesar Rp 758,18 miliar. Kedua, untuk Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD) senilai Rp 83,78 miliar. Ketiga, untuk pengembangan smart data center dengan anggaran Rp 150,82 miliar.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version